MAKALAH FILSAFAT AL-GHOZALI

16.28.00
MAKALAH
PEMIKIRAN AL-GHOZALI
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam kelompok V


Disusun Oleh:
M. Ihsan Alamin
Siti Aisyah
Syihabudin
Dosen Pembimbing :
Ali Said Ismail, M.HI

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG JOMBANG
2014






PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan. Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam. Dalam makalah ini, pemakalah hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
B.     Rumusan masalah
  1. Bagaimana sejarah singkat kehidupan imam Al-Ghazali ?
  2.  Apa saja karya-karya yang telah dibuatnya ?
  3. Apa pemikiran-pemikiran filsafat imam Al-Ghazali ?
C.      Tujuan
  1. Bagaimana sejarah singkat kehidupan imam Al-Ghazali ?
  2. Apa saja karya-karya yang telah dibuatnya ?
  3.  Apa pemikiran-pemikiran filsafat imam Al-Ghazali ?



PEMBAHASAN

  1. Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M di Ghazal, Thus, Propinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah keturunan Persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari Ilmu Tasawuf, karenanya ia (orang tuanya) hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdoa’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama’. Amat disayangkan ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai dengan do’anya. Sebelum meninggal ia masih sempat menitipkan Al-Ghozali bersama saudaranya, Ahmad, kepada seorang sufi, sahabatnya untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik.
Akan tetapi hal ini tidak berjalan dengan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk bekal kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka, Al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyadiakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah Al-Ghazali bertemu dengan yusuf Al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada masa itu,[1] dan disini pula sebagai titik awal bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi seorang ulama’ besar yang berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam. Sepeninggal gurunya, Al-Ghazali belajar di Thus pada seorang ulama’ yang bernama Ahmad Ibnu Muhammad Al-Razakanya Al- Thusi. Selanjutnya ia belajar pula kepada Abu Nashr Al- Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk sekolah di Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh Imam Al- Haramain (Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah). Dari penganut mazhab Syafi’i inilah Al-Ghazali memperoleh ilmu pngetahuan seperti ilmu fiqh, ilmu kalam, dan ilmu logika. Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua ilmu tersebut dapat dikuasai dalam waktu yang singkat. Dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naizabur. Di sekolah Nizhamiyah ini pula ia diangkat menjadi dosen dalam usia 25. Disamping itu, ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk.[2] Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut.
Ø  Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
Ø  kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
Ø  tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
Ø  Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya  dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia  berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
Ø  Selanjutnya ia kembali ke Thus tempat kelahirannya, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.
Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 55 tahun. Jasadnya dikebumikan di sebelah timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al- Firdausy.[3]
  1. Karya-karya Al-Ghozali
Sosok Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan sebutan Hujjat al-Islam (argumen Islam) karena pembelaan yang mengagumkan teradap agama Islam, sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa, ia seoraang ulama’, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Pemaparannya sangat bagus, dalil yang disajikan sangat kuat sehingga setiap ilmu yang dituliskannya dapat dijadikan hujjah. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Buah tangannya ini tidak sedikit dialihbahasakan orang ke dalam berbagai bahasa di Eropa. Dibawah ini hanya akan disebutkan beberapa warisan dari karya imiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.
  1. Ihya’ Ulum al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
  2. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, diuraikan didalamnya akidah menurut aliran al-Asy’ariah.
  3. Maqasid al-Falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam dan ketuhanan.
  4. Tahafut al-Falasifat, berisikan kritikan terhadap para filosof.
  5. Al-Munqis min al-Dhalal, dipaparkan di dalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran-aliran tersebut dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahannya.
  6. Mizan al-A’mal, di dalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak.
Dari hasil pemaparan di atas dapat dilihat bahwa Al-ghozali dalam hidupnya telah menempuh berbagai jalan dan meneliti berbagai mazhab; dimulai sebagai seorang ahli hukum Islam, berbalik menjadi seorang teologi muslim, berpindah sebagai filosof muslim, dan berakhir sebagai seorang sufi[4]
  1. Pemikiran Filsafat Imam Al-Ghazali
Ø  Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika[5].
Ø  Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut.
Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
Ø  Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya. Tujuan dari butir-butir nilai akhlâq atau etika yang dikemukakannya adalah sebagai sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena menurutnya, akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat ketuhanannya[6].
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali. Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, tasawuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya[7].










PENUTUP
KESIMPULAN
Hakikat ilmu menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental subjek sebagaimana realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi berdasarkan metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia. Imam al-Ghazali dikenal sebagai ahli Fikih, ahli Ushul, ahli dalam Ilmu Akhlak, ahli dalam ilmu Tarbiyah dan ilmu Jiwa, ahli ilmu  Ekonomi, bahkan juga dikenal Imam yang Salafi, dan Sufi.
Menurut Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya. Diantaranya dalam bidang filsafat, agama, kenegaraan, fiqih dan ushul fiqih.
Pemikiran filsafat Al-ghazali dapat dibagi 3 yaitu:
Ø  Metafisika yang berarti mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Ø  Iradat tuhan yang berarti  Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
Ø  Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.










DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Dunya, Sulaiman. 1971. Al-Haqiqat fi Nazhar al-Ghazaly. Kairo : Dar al-Ma’arif
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 2010. Filsafat Islam. Jakarta : PT RINEKA CIPTA.






[1] Sulaiman Dunya, Al-Haiqiqat fi al-Nazhar Al-Ghazali, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971), hlm:15
[2] Sirajuddin Zar, filsafat Islan filosof & filsafatnya; h: 157
[3] Ibid., h: 158
[4] Ibid., h: 159
[5] Sudarsono, filsafat Islam (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA) hal: 71
[6] Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 74
[7] Ibid,. Hal : 71



Artikel Terkait

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar

komentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog kami EmoticonEmoticon

PPC Iklan Blogger Indonesia