MAKALAH
PEMIKIRAN AL-GHOZALI
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam kelompok
V
Disusun Oleh:
M. Ihsan Alamin
Siti
Aisyah
Syihabudin
Dosen Pembimbing :
Ali
Said Ismail, M.HI
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG JOMBANG
2014
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ketika filsafat Islam
dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai
filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali,
dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak
saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga
karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan. Bertambah
masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan
perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami
perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak
dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali
sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam. Dalam
makalah ini, pemakalah hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang
ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat
Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat
julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,
mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat.
Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan
biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
B. Rumusan
masalah
- Bagaimana sejarah singkat
kehidupan imam Al-Ghazali ?
- Apa saja karya-karya
yang telah dibuatnya ?
- Apa pemikiran-pemikiran
filsafat imam Al-Ghazali ?
C.
Tujuan
- Bagaimana sejarah singkat
kehidupan imam Al-Ghazali ?
- Apa saja karya-karya yang
telah dibuatnya ?
- Apa pemikiran-pemikiran
filsafat imam Al-Ghazali ?
PEMBAHASAN
- Biografi
Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M
di Ghazal, Thus, Propinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia
adalah keturunan Persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari Ilmu Tasawuf,
karenanya ia (orang tuanya) hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri
dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdoa’a agar
anaknya kelak menjadi seorang ulama’. Amat disayangkan ajalnya tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai dengan
do’anya. Sebelum meninggal ia masih sempat menitipkan Al-Ghozali bersama
saudaranya, Ahmad, kepada seorang sufi, sahabatnya untuk dididik dan
dibimbingnya dengan baik.
Akan tetapi hal ini tidak berjalan
dengan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk bekal kedua anak itu habis,
sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini
tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka, Al-Ghazali dan adiknya diserahkan
ke suatu madrasah yang menyadiakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah
inilah Al-Ghazali bertemu dengan yusuf Al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan
pada masa itu,[1] dan
disini pula sebagai titik awal bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya
yang kelak akan membawanya menjadi seorang ulama’ besar yang berpengaruh dalam
perkembangan pemikiran Islam. Sepeninggal gurunya, Al-Ghazali belajar di Thus
pada seorang ulama’ yang bernama Ahmad Ibnu Muhammad Al-Razakanya Al- Thusi.
Selanjutnya ia belajar pula kepada Abu Nashr Al- Isma’ily di Jurjan dan
akhirnya ia masuk sekolah di Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh Imam Al-
Haramain (Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah). Dari penganut mazhab
Syafi’i inilah Al-Ghazali memperoleh ilmu pngetahuan seperti ilmu fiqh, ilmu
kalam, dan ilmu logika. Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua ilmu tersebut
dapat dikuasai dalam waktu yang singkat. Dengan demikian, semakin lengkaplah
ilmu yang diterimanya selama di Naizabur. Di sekolah Nizhamiyah ini pula ia
diangkat menjadi dosen dalam usia 25. Disamping itu, ia juga
diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh
pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat.
Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat
adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat
(Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk.[2] Dalam
suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa
Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya.
Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut.
Ø Ia
meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2
(dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri,
akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di
mesjid Damaskus.
Ø kemudian
ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di
mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama
dari Allah.
Ø tidak
lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai
Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099
M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan
kebesaran Islam sesudah Baghdad.
Ø Dari Palestina
(Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak
berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin
Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya dari tangan kaum
Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia
mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal
di Mekkah, ia berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam
rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan
Nabi Ibrahim.
Ø Selanjutnya
ia kembali ke Thus tempat kelahirannya, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh,
madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama
(khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat
kelahirannya.
Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat
pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111
M. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 55 tahun. Jasadnya
dikebumikan di sebelah timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam
penyair yang terkenal Al- Firdausy.[3]
- Karya-karya
Al-Ghozali
Sosok Al-Ghazali diberi gelar kehormatan
dengan sebutan Hujjat al-Islam (argumen Islam) karena pembelaan yang
mengagumkan teradap agama Islam, sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang
luar biasa, ia seoraang ulama’, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan
pengarang yang produktif. Pemaparannya sangat bagus, dalil yang disajikan
sangat kuat sehingga setiap ilmu yang dituliskannya dapat dijadikan hujjah. Karya
tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Buah tangannya ini tidak
sedikit dialihbahasakan orang ke dalam berbagai bahasa di Eropa. Dibawah ini
hanya akan disebutkan beberapa warisan dari karya imiahnya yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.
- Ihya’
Ulum al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok
agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
- Al-Iqtishad
fi al-I’tiqad, diuraikan didalamnya akidah menurut
aliran al-Asy’ariah.
- Maqasid
al-Falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam dan
ketuhanan.
- Tahafut
al-Falasifat, berisikan kritikan terhadap para
filosof.
- Al-Munqis
min al-Dhalal, dipaparkan di dalamnya seperangkat
ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran-aliran tersebut dikajinya
secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahannya.
- Mizan
al-A’mal, di dalamnya berisikan penjelasan
tentang akhlak.
Dari hasil pemaparan di atas dapat
dilihat bahwa Al-ghozali dalam hidupnya telah menempuh berbagai jalan dan
meneliti berbagai mazhab; dimulai sebagai seorang ahli hukum Islam, berbalik
menjadi seorang teologi muslim, berpindah sebagai filosof muslim, dan berakhir
sebagai seorang sufi[4]
- Pemikiran Filsafat Imam
Al-Ghazali
Ø Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali
mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina.
Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz
min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika),
maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena
tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka
tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para
filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh
pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak
sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi
hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para
filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan
tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari
bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun
demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan
filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika[5].
Ø Iradat
Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia,
Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan
semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang
diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu
pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah
(atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak
dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita
lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang,
tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan
pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu.
Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya
imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan
suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas),
sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa
itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan
dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut.
Sebagai contoh, kertas tidak
mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga
dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka
menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar
dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang
tidak bisa terbakar oleh api.
Ø Etika
Mengenai filsafat etika
Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku
Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori
tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah
al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”.
Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan
sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai
Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya. Tujuan dari butir-butir nilai
akhlâq atau etika yang dikemukakannya adalah sebagai sarana mencapai
ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti membuka hijab-hijab yang
membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena menurutnya, akhlâq sangat
terkait erat dengan filsafat ketuhanannya[6].
Sesuai dengan prinsip Islam,
Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat
memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan
prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan
yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari
manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama
sekali. Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan
tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, tasawuf bukanlah
suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi
ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis
antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah
dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah
dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di
dalamnya[7].
PENUTUP
KESIMPULAN
Hakikat
ilmu menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental subjek
sebagaimana realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi
berdasarkan metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan
manusia. Imam al-Ghazali dikenal sebagai ahli Fikih, ahli Ushul, ahli
dalam Ilmu Akhlak, ahli dalam ilmu Tarbiyah dan
ilmu Jiwa, ahli ilmu Ekonomi, bahkan juga dikenal Imam yang Salafi, dan
Sufi.
Menurut
Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan
karyanya sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan
yang terkenal pada masanya. Diantaranya dalam bidang filsafat, agama,
kenegaraan, fiqih dan ushul fiqih.
Pemikiran filsafat Al-ghazali
dapat dibagi 3 yaitu:
Ø Metafisika
yang berarti mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Ø Iradat
tuhan yang berarti Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali
berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan
penciptaan.
Ø Etika
yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita
lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya
meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Dunya, Sulaiman. 1971. Al-Haqiqat
fi Nazhar al-Ghazaly. Kairo : Dar al-Ma’arif
Sirajuddin.
2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudarsono.
2010. Filsafat Islam. Jakarta : PT RINEKA CIPTA.
[1]
Sulaiman Dunya, Al-Haiqiqat fi al-Nazhar Al-Ghazali, (Kairo: Dar
al-Ma’arif, 1971), hlm:15
[2]
Sirajuddin Zar, filsafat Islan filosof & filsafatnya; h: 157
[3]
Ibid., h: 158
[4]
Ibid., h: 159
[5]
Sudarsono, filsafat Islam (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA) hal: 71
[6]
Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta:
Bumi Aksara. hlm. 74
[7]
Ibid,. Hal : 71
1 komentar:
Write komentarsiip...
Replykomentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog kami EmoticonEmoticon