MAQOSIDUS SYARI
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah ushul fiqh 2
Semester 3C
Dosen
Pembimbing:
Drs.
H. Mahfould Hariem
Disusun
Oleh:
Siti Aisyah
M. Ihsan Alamin
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS KEISLAMAN HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG JOMBANG
2013
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Islam
sangat memperhatikan perlindungan untuk tiap individu, yakni melalui
perlindungan utuk semua urusan individu yang bersifat ateri dan moral. Islam
menjaga kehidupan tiap individu; menjaga semua yang menjadi sandaran hidupnya
(hartadan semua yang dimilikinya); yang paling dasar dan pertama adalah menjaga
kehormatan, yaitu nasab, tempat tumbuh, serta silsilah keturunan kepada ayah
(leluhur) dan keluarganya ; adapun menjaga akal yang merupakan dasar pembebanan
kewajiban dan tanggung jawab dalam Islam; juga menjaga agama dan hubungan
individu tersebut dengan Tuhannya.
Manusia
terwatak atas insting fisik atau material yang menggiringnya kepada makanan dan
minuman, agar keberadaan dirinya terjamin, juga kepada hubungan seksual, agar
kelanggengan spesiesnya terjamin. Dalam karakter ini sajalah manusia bersekutu
dengan binatang. Selain itu, manusia
juga dihiasi dengan dengan kemampuan ruiyah (spiritual) yang hanya menjadi
cirri khususnya, tidak untuk makhluk lainnya yang hanya menjadikannya bisa
menerima pembebanan tanggung jawab agama, agar ia bisa membedakan antara yang
keji dan yang baik.
Mempelajari
perlindungan yang diberikan Islam kepada jiwa dan kehormatan mengharuskan kita
untuk mempelajari perlindungan Islam untuk harta dan keturunan. Mustahil bila
manusia memiliki kehidupan manusiawi atau eksistensi kemanusiaan, kecuali
dengan adanya perlindungan asasi ini. Semua agama yang ada telah mengakui,
mengakui dan mendasarkannya dengan menggunakan semua hal yang menjadikannya
berkembang adh-dharurat al-khams (lima hal inti), dan agama-agama ini
pun menyeru untuk mengagungkan dan menjaganya, serta mengharamkan penganiayaan
atasnya, dalam bentuk apapun. Pada dasarnya, pembahasan ini terfokus kepada
nash-nash Alquran tanpa takwil dan tidak menyimpang dari tempatnya. Pembahasan
ini menembus pada perselisihan madzab yang telah memecah belah kekuatan kaum
muslimin, sehingga mereka menjadi berkelompok-kelompok. Pembahasan ini mampu
menghindarkan dari keberlebihan dan pengertian yang beku. Pada awalnya, ini
mengarah kepada inti permasalahan dan membuat sebuah solusi dalam satu
penjelasan yang gamblang dan logika yang lurus.
Kita
akan menyikapi setiap aspek dari kelima aspek inti tersebut dalam satu bab
detail, kita akan menjelaskan maksud utama tujuan syari'at dan menyebutkan dan
memaparkannya lima dasar maslahahnya.
B. Rumusan
Masalah.
1. Apa
definisi maqasidus syariah dan tujuan utama syariah?
2. Sebutkan
tiga tingkatan maslahah dengan contohnya?
3. Apa
saja lima dasar maslahah dan bagaimana contohnya?
C. Tujuan
Makalah ini
dibuat untuk mengetahui secara lebih detail mengenai muqosidus syariah
PEMBAHASAN
1. Maqosidus
syari dan tujuannya.
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW adalah sebagai
sumber utama hukum Islam yang bersifat wajib, atau mutlaq di percayai dan di
anut oleh seorang muslim, selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga
dengan ruh tasryi’ atau Maqasid Syari’at.
Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan,
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada
yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang
dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan syari’at secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء
ertinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan
berjalan menuju sumber kehidupan.
Didalam Al-Qur’an Allah swt. menyebutkan
beberapa kata syari’at diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam Surah
Al-Jassiyah dan Asy-Syura:
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan)
dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
(Al-Jatsiyah 45 : 18)
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. (Asy-Syura 42:
13).
Maqosid Syari adalah tujuan Allah
dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan inidapat ditelusuri
dalam ayat-ayat quran dan sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan
suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Ibnu
qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung
keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah.
Hal ini senada
juga dikemukakan oleh Al-Syathibi, Ia menegaskan bahwa tujuan
akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia.[1]
Jadi,
yang menjadi tujuan umum bagi syari' dari pembentukan hukum adalah mewujudkan
kemasalahatan manusia dengan menjamin kebutuhan dhaururiyah (primernya),
memenuhi kebutuhan haajiyyat (sekunder), serta tahsiniyyat (pelengkapnya).
Dalam
rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul
Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini
wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan.
Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah/Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah
memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Jadi, Setiap hal yang
mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang
membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.
2. Tiga tingkatan maslahah.
Adapun setiap hal
yang menjadi perantara terjaganya lima hal itu, dibagi menjadi tiga tingkatan
kebutuhan yaitu; Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat.
a. Kebutuhan dharuriyyat.
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus
ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak
terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di
akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu
memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima
hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila
diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk
memelihara lima hal pokok di atas.
b. Kebutuhan hajiyyat.
Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan
sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai
terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala
kesulitan tersebut.
c. Kebutuhan tahsiniyyat.
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak
mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula
menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan
pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan
menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan
berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.[2]
Jadi, untuk
mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu. Pengelompokan ini didasarkan
pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan
terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing level satu
sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level Dharuriyyat menempati
peringkat pertama disusul Hajiyyat dan Tahsiniyyat. level Dharuriat
adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.
Sementara level Hajiyyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan
kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level Tahsiniyyat, adalah kebutuhan
yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan
Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya
antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan
menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks
tahsiniyyat. Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara
kelima hukum Islam yang sudah disebutkan.
Contoh lain sebagai
bukti bahwa kemaslahatan manusia itu tidak lepas dari tiga hal di atas adalah
naluri dan kenyataan, karena setiap kemaslahtan pribadi atau masyarakat
terbentuk dari masalah primer, sekunder, dan pelengkap. Misalnya kebutuhan
primer manusia akan rumah sebagai tempet berteduh dari terik matahari dan
cekaman dingin, meskipun berbentuk goa di gunung. Kebutuhan sekundernya,
hendaknya rumah itu memberi kenyamanan untuk ditempati, misalnya jendela yang
bisa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan. Sedangkan kebutuhan pelengkapnya,
hendaknya rumah itu dihias, diberi perabot dan sarana peristirahatan yang
memadai. Jika rumah itu telah memenuhi kebutuhan tersebut, maka kemaslahatan
manusi akan rumah itu akan terwujud.[3]
3. Lima dasar maslahah dan contohnya.
Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang
tujuan Syari’ah, berikut ini akan dijelaskan ketujuh misi pokok menurut
kebutuhan dan skala prioritas masing-masing.
(1). Memelihara
Agama.
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan
kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a.
Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat,
yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat
primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka
akan terancamlah eksistensi Agama.
b.
memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat,
yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan,
seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau
ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama,
melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c.
Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat,
yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup
aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan
tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini
tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi
agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
(2).
Memelihara jiwa.
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat
kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a.
memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat,
seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi
jiwa manusia.
b.
memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat,
seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk
menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka
tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c.
memelihara dalam tingkat tahsiniyyat,
seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan
dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa
manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
(3).
Memelihara Aqal.
Memelihara aqal, dilihat dari segi
kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a.
Memelihara aqal dalam peringkat
daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak
diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal.
b.
Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat,
seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan,
maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam
kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
c.
Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat.
Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak
berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi
aqal secara langsung.
(4).
Memelihara keturunan.
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi
tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a.
memelihara keturunan dalam peringkat
daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan
ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
b.
memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat,
seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad
nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada
waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar
misal, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia
tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
c.
memelihara keturunan dalam peringkat
tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal
ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula
mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
(5).
Memelihara Harta.
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara
harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a.
memelihara harta dalam peringkat daruriyyat,
seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta
orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka
berakibat terancamnya eksistensi harta.
b.
memelihara harta dalam peringkat hajiyyat
seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak
dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit
orang yang memerlukan modal.
c.
memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat,
seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal
ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga
akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga
ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.[4]
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa
tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal,
keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan
misi hokum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan
hidup.
KESIMPULAN
Disini penulis bisa menyimpulkan Bahwa Maqashid
Syari’ah adalah: konsep untuk mengetahui Hikmah (nilai-nilai dan
sasaran syara’ yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits).
yang ditetapkan oleh al-Syari’ terhadap manusia adapun tujuan akhir
hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat
(dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan
tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan
menyempurnakan kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat
(tersier). Dan untuk mewujudkan kemaslahatan itu melalui pemeliharaan lima
unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta.
DAFTAR PUSTAKA
Mas'ud, Muhammad Khalid. 1995. Filsafat
Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Surabaya: Al Ikhlas.
khallaf, Abdul
Wahhab.2003. Ilmu ushul fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
jauhar, Ahmad
Al-Mursi Husain. 2009. Maqoshid Syariah. Jakarta: AMZAH.
[1]
Muhammad
Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh
Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal.225
[2] http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/ushul-fiqh-maqashid-al-syariah-474192.html
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
Pustaka Amani, Jakarta, hal: 293
komentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog kami EmoticonEmoticon