MAKALAH
HUKUM PERKAWIINAN BEDA AGAMA
Disusun Untuk
Memenuhi Salahsatu Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Hukum Perdata
Dosen Pengampu: Drs. H. Mudzakkir Soelsap, M.Hi
DisusunOleh :
Muhamad Faisal
FAKULTAS SYARI,AH JURUSAN HUKUM KELUARGA
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARY
TEBU IRENG JOMBANG
2013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.” ( UU
No.1/Th 1974, pasal 1)
Perkawinan disyariatkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di
dunia dan di akhirat, dibawah ridha Allah SWT.
Di dalam agama Islam dalam hal memilih jodoh
hendaklah mereka memilih karena 4 perkara yaitu; hartanya, kecantikannya,
keturunannya , agamanya. Namun apabila semuanya tidak dapat terpenuhi maka
pilihlah karena agamanya.
Akan tetapi dalam hal ini yang menjadi
permasalahan adalah bolehkah seorang (wanita / pria ) yang beragama Islam
menikah dengan seorang (wanita / pria) yang berbeda agama, walaupun dalam Islam
memberikan peluang kebolehan seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul
kitab. Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 40 dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan
orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Hukum bukan hanya sebagai refleksi dari
penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada
perilaku yang ada dalam masyarakat itu, tetapi juga ditundukkan pada sang
pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari segala sumber
hukum. Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia lainnya,
tetapi juga tunduk pada penciptanya. Untuk itu, hukum yang baik di samping
harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan
dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat.
Tugas manusia sebagai Khalifah adalah
menegakkan ajaran agamanya disatu sisi dan mengatur kehidupan dunia disisi lain
yang semuanya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan pada gilirannya
untuk mencapai kesejahteraan, kebagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu yang
sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran
agama. Oleh karena itu undang-undang perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan) mengamanatkan bahwa pernikahan harus atau wajib
dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya serta
dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Departemen Agama merupakan satu-satunya
instansi pemerintah yang diberi amanat berdasarkan undang-undang untuk
melakukan pengawasan dan pencatatan dalam memberikan pelayanan nikah dan rujuk
bagi penduduk yang beragama Islam yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan di seluruh Indonesia. Oleh karena itu buku
nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan bagi mereka yang beragama Islam merupakan dokumen yang mempunyai
status kekuatan hukum yang sama dengan akta perkawinan yang dikeluarkan oleh
Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang beragama selain agama Islam. Untuk itu
tidak ada alasan bagi sebagian negara yang mengharuskan warganegaranya yang
kawin dengan warganegara Indonesia untuk melaksanakan pendaftaran ulang
perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil.
Maka dari itulah kami mencoba melakukan
tinjauan dan ulasan masalah perkawinan
Antar Pemeluk Agama di tinjau dari Hukum
Perdata Islam di Indonesia.
PEMBAHASAN
B. Pengertian dan Beberapa Istilah Perkawinan
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974)
2 .Perkawinan antar pemeluk agama, dimaksudkan
seorang laki-laki beragama Islam akan nikah dengan seorang perempuan pemeluk
agama non muslim atau sebaliknya.
C. Azas-azas Perkawinan.
Hubungan antara laki-laki dan wanita dalam
ikatan tali perkawinan merupakan sunnatullah, ketetapan Allah yang ditentukan
pada alam/ manusia dan makhluk lainnya dan bagi seorang muslim perkawinan
merupakan ibadah. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhananyang Maha Esa. Perkawinan mempunyai peranan yang
sangat penting dalam menjamin kelangsungan sebuah keluarga. Agar perkawinan
terjamin kelangsungan dan mempunyai kepastian hukum, maka perkawinan perlu
dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh Karena itu berdasarkan ketentuan tersebut
maka perkawinan bagi penduduk Indonesia tidak hanya merupakan ikatan
keperdataan saja tetapi juga mempunyai ikatan batiniah sebagai refleksi dari
pelaksanaan ajaran Agama dan kepercayan yang dianutnya.
Hal ini akan terlihat pada saat dilakukan
upacara perkawinan, tidak boleh ada perkawinan satu jenis antara pria
dengan pria atau antara wanita dengan wanita, tidak boleh ada perkawinan yang
dibatasi waktunya yang disebut dengan istilah kawin kontrak, karena dalam
perkawinan kontrak tidak bersifat kekal.
Di samping itu perkawinan harus dilakukan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa hukum agama dan kepercayaan
yang dipeluknya menjadi dasar yang menentukan bagi keabsahan atau tidaknya
perkawinan yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
Tujuan perkawinan menurut ajaran Islam
adalah sebagai berikut :
1.Menyempurnakan tingkat pengamalan agama.
Pernikahan adalah perintah agama Islam yang harus dijalankan oleh manusia
bagiyang mampu berkeluarga.
2. Menjaga kehormatan, tatkala seorang
telah mencapai dewasa, dorongan seksual cukup deras dan terkadang tidak mampu
menahan. Dengan perkawinan, dorongan seksual akan lebih terkendali sehingga
kehormatan seseorang dapat terjaga dengan baik.
3. Menggapai ketenangan, kecintaan dan kasih
sayang. Perkawinan diharapkan untuk memberi ketenteraman jiwa, memupuk jalinan
cinta dan saling memberikan kasih sayang di antara pasangan.
4. Melestarikan keturunan
5. Membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal.
Ada beberapa azas yang terkandung dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
a. Azas Ketuhanan
Yang Maha Esa
Perkawinan
yang dilakukan oleh WNI harus berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Oleh karena itu setiap perkawinan harus dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya clan kepercayaannya. Bagi yang beragama Islam harus
dilakukan menurut yketentuan hukum agama Islam (hukum munakahat), begitu pula
bagi mereka yang beragama selain agama Islam dilakukan menurut hukum agama yang
dipeluknya.
b.
Azas Pencatatan
Dalam Pasal 2
Undang-undang Perkawinan menetapkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-¬masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 tersebut, maka
perkawinan itu selain harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan
yang dipeluknya, juga harus dihadapan Pegawai Pencacat Nikah dan dicatatkan di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagi rnereka yang
beragama Islam. Terhadap mereka yang tidak memenuhi ketetentuan sebagaiman
tersebut di atas maka perkawinannya dinyatakan tidak sah. Pegawai Pencatat
Nikah (Penghulu) adalah pejabat yang diberi wewenang, hak dan tanggung jawab
berdasarkan undang-undang untuk melakukan pemeriksaan, dan pencatatan
perkawinan.
Adapun tujuan pencatatan
perkawinan adalah untuk:
(1). Memberikan kepastian hukum bagi
pernikahan yang bersangkutan. (2). Menjadi bukti otentik dengan adanya
buku nikah. (3). Mendapatkan perlindungan hukum, dan menjadi dasar bagi yang
besangkutan untuk menuntut ke Pengadilan apabila salah satu pihak merasa
teraniaya. (4).Menjadi terlaksananya tertib administrasi negara, sehingga dapat
diketahui jumlah penduduk Indonesia yang melaksanakan perkawinan setiap
tahunnya.
c.
Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Bagi
Suami istri dalam perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang, baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, dan
masing-masing suami istri dapat melakukan perbuatan hukum. Suami sebagai kepala
keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dan apabila cukup alasan hukum
bahwa tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, maka suami dapat
mengajukan permohonan talak, sedangkan istri dapat melakukan gugatan cerai pada
Pengadilan.
d.
Asas Kematangan Jiwa
Bagi
orang yang akan melangsungkan perkawinan diperlukan kedewasaan dan kematangan
jiwa dan raganya. Usia dewasa berdasarkan Undang-Undang Perkawinan adalah 21
Tahun, baik bagi calon pria maupun wanita. Sehingga bagi mereka yang telah
berusia 21 tahun dianggap telah dewasa untuk kawin dan tidak diharuskan lagi
adanya surat izin untuk menikah dari kedua orang tuanya. Sedangkan bagi yang
berusia kurang dari 21 tahun bila akan menikah harus ada izin dari kedua orang
tuanya, dengan ketentuan bagi pria telah berusia 19 tahun dan bagi wanita telah
berusia 16 tahun. Kemudian bagi pria yang usianya kurang dari 19 tahun dan bagi
wanita yang usianya kurang dari 16 tahun, maka yang bersangkutan untuk dapat
menikah terlebih dahulu harus mendapat izin/dispensasi dari Pengadilan.
D. Perkawinan Beda Agama
1. Menurut UU N0. 1 tahun 197 4
Di dalam undang-undang tentang perkawinan di
Indonesia ini tidak diatur perkawinan antar atau beda agama, karena menganut
azas perkawinan sah apabila menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Berarti jika perkawinan itu sah menurut ketentuan hukum
Islam, maka sah menurut undang-undang dan bila perkawinan itu tidak sah menurut
agamanya, maka tidak sah menurut undang-undang.
Di samping itu lembaga pencatatan perkawinan di
Indonesia hanya di Kantor Urusan Agama Kecamatan bagi yang beragama Islam,
sedangkan bagi yang non Islam, pencatatannya di Catatan Sipil. Jika antara
calon suami dengan calon isteri berlainan agama, maka tidak ada lembaga
pencatatan perkawinannya. Oleh karena itu sebelum akad nikah kedua calon harus
memilih untuk mengikuti agama dari salah satunya.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan beda agama menurut kompilasi
hukum Islam sama dengan prinsip yang ada pada fiqh munakahat yaitu perkawinan
antara orang Islam dengan orang musyrik dilarang, sedangkan dengan ahli kitab
dibolehkan.
3. Menurut Hukum Islam
a.Kawin dengan perempuan musyrik.
Para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim
tidak halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq,
perempuan ke luar dari Islam, penyembah sapi, perempuan beragama politeisme.
Firman Allah SWT:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا
الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS.
Al-Baqarah : 221)
b.Menurut hukum agama Islam seorang laki-laki
muslim boleh nikah dengan wanita beragama Nasrani dan Yahudi yang disebut
dengan ahli al-kitab sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat al-Maidah ayat 5.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik.makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.(QS. Al-Maidah : 5 )
Perempuan musyrik tidak mempunyai Agama
yang mengharam¬kannya berbuat khiyanat, mewajibkannya berbuat amanah, menyuruhnya
berbuat baik dan mencegahnya berbuat jahat. Apa yang dikerjakannya dan
pergaulan yang dilakukannya terpengaruh oleh ajaran-ajaran kemusyrikan, padahal
ajaran berhala ini berisi khurafat dan sangkaan-sangkaan, lamunan dan
bayangan-bayangan yang dibisikkan syaitan. Karena itu ia akan bisa berkhianat
kepada suaminya dan merusak akidah agama anak-anaknya. Bilamana laki-laki
Muslim kawin dengannya karena tertarik akan kecantikan¬nya, maka hal ini akan
membuat perempuannya lebih bangga hidup dalam kesesatannya, bahkan tambah
menyesatkannya. Jika matanya terpedaya oleh rupa yang cantik dan hatinya
tergila kepada kecantikan, berarti dia terjerumus ke dalam kesenangan akan
kecantikan dan melupakan nasib buruk yang menimpanya.
Adapun perempuan Ahli Kitab tidaklah berbeda
jauh dengan ke¬adaan laki-laki mukmin. Karena ia percaya kepada Allah dan
ber¬ibadah kepadaNya, percaya kepada para Nabi, hari kemudian dan
pembalasannya, dan memeluk agama yang mewajibkan berbuat baik, mengharamkan
berbuat jahat.
Perbedaan hakiki yang besar an¬tara kedua orang
tersebut adalah mengenai keimanan pada kerasulan Muhammad s.a.w. Orang yang
percaya kepada adanya kenabian, ti¬daklah akan ada perintang untuk percaya
kepada kenabian Muham¬mad s.a.w. sebagai penutup para Nabi, kecuali karena
kebodohannya terhadap ajaran yang dibawa oleh beliau. Sebab apa yang dibawa
oleh beliau sama seperti yang pernah dibawa oleh para Nabi sebelumnya, tetapi
dengan beberapa tambahan yang sesuai dengan tuntutan kema¬juan zaman, dan
memberikan persiapan untuk menampung lebih banyak hal-hal yang akan terjadi
oleh kemajuan zaman. Atau rintang¬an bagi orang yang tidak percaya kepada
kenabian Muhammad kare¬na secara lahir menentang dan menolak ajaranNya, tetapi
hati kecil¬nya mengakui kebenarannya.
Adapun dimaksud Perkawinan Antar Pemeluk Agama
adalah perkawinan antar orang
(pria/wanita) yang berlainan agama yaitu
orang Islam dengan yang bukan orang bukan Islam.” (Zuhdi 1991: 4).
Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam Undang-undang No. 1
Tahun. 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maupun dalam Kompilasi Hukum
Islam Tahun. 1991. Namun demikian, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang
larangan orang Islam mengawini orang yang tidak beragama Islam yang diatur
dalam pasal 40 dan 44 Kompilasi Hukum Islam yaitu :
1.Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
bahwa Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tetentu :
a.karena wanita yang bersangkutan masih terikat
satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain;
c.seorang wanita yang tidak beragama Islam.
2. Pasal 44 Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan bahwa Seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 dan 44 KHI,
tersebut mengatur larang perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda sehingga
jelas apabila terjadi perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda berarti
perkawinannya tidak sah.
Akan tetapi apabila dilihat dari pemahaman fiqh
di Indonesia, memungkinkan trjadinya perkawinann antara seorang pria yang
beragama Islam untuk menikah dengan wanita ahlul kitab. Karena mempunyai kitab
suci yang berasal dari wahyu Allah. Hal ini berasal dari pemahaman tekstual
firman Allah dalam surat Al-maidah ayat 5.
Moh. Daud Ali berpendapat bahwa dalam surah
Al-Maidah ayat 5 tersebut, Allah memberi keringanan berupa hak kepada pria
muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab. Selanjutnya ia menegaskan bahwa
keringanna itu hanya diberikan kepada pria muslim, tidak kepada wanita
muslimah.
Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa lelaki
muslim halal kawin dengan wanita Yahudi atau Nasrani, namun demikian ia
disyaratkan harus mampu menyelamatkan kehidupan agamanya, agama anak-anak, dan
umat Islam pada umumnya.
Mencermati pendapat di atas mengenai perkawinan
antar pemeluk agama yang berbeda dalam kaitannya dengan UU No. 1 Th. 1974 dan KHI, maka dapat disebut persolan khilafiyah.
Adapun macam-macam Perkawinan antar Pemeluk
Agama dan Hukumnya, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan
wanita Musyrik. Islam melarang perkawinan antara pria muslim dengan wanita
musyrik, berdasarkan Firman Allah SWT, yaitu: “Janganlah
kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu “. (Q.S Al-Baqarah ayat 221).
Dikalangan ulama berbeda pendapat siapa
musyrikah yang haram dinikahi itu. Menurut Ibnu Jarir At-Thabrani, seorang ahli
Tafsir bahwa musyrikah yang dilarang itu adalah dari bangsa Arab karena pada
waktu turunnya Al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah
berhala. Akan tetapi kebanyakan dari pada ulama berpendapat, bahwa semua
musyrikah baik dari bangsa Arab ataupun bukan, selain ahlul kitab tidak boleh
dikawini.
Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan
wanita Ahlul Kitab, Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim
boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), berdasarkan firman
Allah SWT, “….. Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, …..”
(Q.S- Al-Maidah ayat 5).
Namun demikian, ada sebagian ulama yang
melarang perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Kristen atau
Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadahnya itu mengandung
unsur syrik yang cukup jelas. Adapun Perkawinan antara seorang
wanita Muslimah dengan pria Non Muslim, Ulama telah sepakat, bahwa
Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan seorang pria
non-muslim. Adapun dalil yang menjadi dasar wanita hukum untuk larangan kawin
antara wanita Muslimah dengan pria non-muslim sesuai dengan Firman Allah
dalam Q.S Al-Baqarah ayat 221 : “dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu.”
Menurut Ijama’ para ulama bahwa hikmah
dilarangnya perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam selain
ahlul kitab, ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir kepercayaannya
berbeda. Mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama untuk
meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti kepercayaan mereka.
KESIMPULAN
1. Perkawinan adalah salah satu
sunnah Rasulullah saw, yang sangat dianjurkan, dan dianggap berdosa bagi orang
Islam yang tidak mau melaksanakan perkawinan. Rasulullah saw. Sangat benci
kepada orang Islam yang tidak mau menikah, oleh karenanya dia (orang tersebut)
dianggap tidak termasuk golongan Rasulullah saw.
2. Perkawinan di Indonesia telah
diatur menurut perundang-undangan dan juga peraturan pemerintah, sehingga
memberikan kemudahan kepada setiap pelaksana perkawinan untuk melangsungkan
perkawinan berdasarkan regulasi yang telah ada. Dengan demikian maka persoalan
social yang sering timbnul akibat perkawinan, terutama perkawinan beda agama
sudah dapat ditekan, sehinghga dapat memberikan kenyamanan dan ketertiban bagi
masyarakat yang hidap berdampingan antara suku bangsa dan beda agama secara
harmonis.
4. Di dalam undang-undang tentang
perkawinan di Indonesia ini tidak diatur perkawinan antar atau beda agama,
karena menganut azas perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berarti jika perkawinan itu sah
menurut ketentuan hukum Islam, maka sah menurut undang-undang dan bila
perkawinan itu tidak sah menurut agamanya, maka tidak sah menurut
undang-undang.
Daftar
Pustaka
2. Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran, 2004
3. Kitab UU Hukum Perdata BW
4. UU Dasar Negara RI No. 1945
5. UU Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI
6. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
7. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8. Kompilasi Hukum Islam, 1991
9. BPHN – Pengkajiari Hukum tentang Perkawinan Campuran Tahun 1992/1993
10. BPHN – Penelitian Hukum tentang Permasalahan Hukum dalam Praktek
Perkawinan Antar Agama Dalam Hal Harta Perkawinan, Warisan, dan Status Anak
tahun 1993/1994.
11. PHN – Aspek-aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Perkawinan Campuran
Tahun 1993.
12. Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Status Anak Hasil Perkawinan Antar
WNI dan WNA Tahun 2004.
13. Majdi, Analisis Fatwa Hukum Munakahat, 2006
komentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog kami EmoticonEmoticon