MAKALAH
KEHARUSAN MENUNTUT ILMU DAN KEDUDUKAN ILMUWAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Bila dilihat
dari sisi tujuan penurunnya, al-Qur’an merupakan petunjuk dan pedoman yang
mengarahkan manusia untuk menjalani kehidupan ini dengan baik sesuai perintah
Allah Swt, karenanya sangat beralasan bila Sa’id Hawwa dalam tafsirnya “al-Asas
Fi al-Tafsir“ mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab tarbiyah (Hawwa,
1987:2). Ada beberapa alasan yang melandasi statement al-Qur’an adalah kitab
Pendidikan, diantaranya, pertama, ayat yang pertama turun berisikan perintah
untuk membaca, dan hal ini terkait dengan pendidikan, yaitu JIA/Desember
2011/Th. XII/Nomor 2/1-15 dalam surat al-Alaq ayat 1-5; kedua, dilihat dari
sumbernya, al-Qur’an diwahyukan oleh Allah Swt, dimana peranNya terhadap
makhluqnya sebagai pendidik pula. Ketiga, dari sisi pembawanya adalah nabi Muhammad
yang juga seorang pendidik umat, karena salah satu tugas kenabianNya adalah
mensucikan manusia, hal ini dapat diartikan dengan pendidikan juga, keempat,
dari sisi namanya al-Qur’an juga menunjukkan keterkaitan dengan pendidikan
contohnya, al-Qur’an, al-Kitab dan lain-lain. Kelima, bila dilihat dari misi
al-Qur’an, misi utamanya adalah pembinaan akhlaq mulia, sebagaimana nabi
Muhammad juga diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Telah banyak upaya menggali
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan dilakukan oleh para
praktisi pendidikan. Dari pernyataan diatas maka makalah ini akan membahas
tentang ayat – ayat Al – Quran yang berkaitan dengan pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Surat
Al – Alaq Ayat 1 – 5
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya :
1)
bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2)
Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3)
Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4)
yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5)
Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
a.
Munasabatul
Ayat
Setelah pada surat sebelumnya disebutkan
bahwa manusia diciptakan dalam keadaan yang sempurnya ( أًحْسَنِ
تَقْوِيْم ) kemudian dalam surat ini disebutkan kejadian
manusia dari segumpal darah sampai pada akhirnya disini di bahas keadaan
manusia di akhirat.
b. Asbabun Nuzul
Disebutkan bahwa Nabi S.A.W.
beribadah dalam gua Hira beberapa malam, kemudain turunlah ayat ini. Lima ayat
ini deisepakati turun di makah sebelum Nabi S.A.W. hijrah, bahkan hampir semua
ulama sepakat bahwa wahyu yang pertama diterima Nabi S.A.W. adalah lima ayat
ini, Thahir Ibnu Asyur menyatakan bahwa lima ayat ini turun pada tanggal tujuh
belas ramadhan dan hal ini banyak di ikuti oleh ulama.
Nama yang populer pada masa sahabat
adalah surat iqra’ bismirabbika, dan nama yang banyak tercantum dalam mushaf
adalah al-Alaq’ ada juga yang menamainya dengan surah iqra’.
c. Pembahasan
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
a)
Tafsir
Mufrodat :
Kata (اقْرَأْ ) terambil dari
kata kerja ( قَرَأَ
)
yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila anda merangkai huruf atau kata
kemudian anda mengucapkan rangkaian tersebut maka anda telah menghimpunnya
yakni membacanya. Dengan demikian realisasi perintah tersebut tidak
mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus
diucapkan sehingga terdengan oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus ditemukan
aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain : menyampaikan, menelaan,
membaca, mendalami, meneliti, mengaetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya,
yang kesemuanya bermula dari arti menghimpun.
Ayat di atas tidak menyebutkan objek
bacaan - dan jibril AS. ketika itu tidak juga membaca suatu teks tertulis, dan
karena itu dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi S.A.W. bertanya : ( مَا
أَقْرَأُ )
apa yang harus saya baca ?
b)
Penjelasan:
Beraneka ragam pendapat ahli tefsir
tentang objek bacaan yang dimaksud, ada yang berpendapat wahyu (al-Qur’an)
sehingga perintah itu dalam arti : “bacalah wahyu-wahyu (al-Qur’an)” ketika dia
turun nanti. Ada juga yang berpendapat bahwa objeknya adalah ismi robbika
sambil menilai huruf ba’ yang menyertai kata kata ismi adalah sisipan sehingga
ia berarti bacalah nama tuhanmu atau berdzikirlah. Tapi jika demikian mengapa
Nabi S.A.W.menjawab “ saya tidak dapat membaca “ seandainya yang dimaksud
perintah berdzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum
datang wahyu beliau senantiasa melakukannya.
Muhammad Abduh memahami peritah membaca
di sini bukan sebagai beban tugas yang harus dilaksanakan (amr taklif) sehingga
membutuhkan objek, tetapi ia adalah amar takwini yang mewujudkan kemampuan
membaca secara actual pada diri pribadi Nabi Muhammad S.A.W. pendapat ini
dihadang oleh kenyataan bahwa setelah turunnya perintah ini pun Nabi S.A.W.
masih tetap dinamai oleh al-Qur’an sebagai seorang Ummy (tidak pandai
membaca dan menulis), di sisi lain jawaban Nabi S.A.W. kepada malaikat jibril
ketika itu, tidak mendukung pemahaman itu.
Huruf ( ب ) pada kata (بِاسْمِ ) ada juga yang
memahaminya sebagai pernyertaan atau mulabasah, seingga dengan demikian
ayat tersebut berarti “bacalah disertai dengan nama Tuhanmu”.
Sementara ulama memahami kalimat bismi
rabbika bukan dalam pengertian harfiahnya, sudah menjadi kebiasaan
masyarakat sejak masa jahiliah mengaitkan suatu pekerjaan dengan nama sesuatu
yang mereka agungkan. Itu memberi kesan yang baik atau katakanlah “berkat”
terhadap epkerjaan tersebut juga untuk menunjukkan bahwa pekerjaan tadi
dilakukan semata-mata karena “dia” yang namanya disebutkan tadi. Dahulu,
misalnya sebelum turunnya al-Qur’an, kaum musyrikin sering berkata “bismi
al-lata” dengan maksud bahwa apa yang mereka lakukan tidak kecuali demi
tuhan berhala al-lata, dan bahwa mereka mengharapkan anugrah dan berkah” dari
berhala tersebut.
Mengaitkan pekerjaan membaca dengan nam
Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah, dan
hal ini akan mengahsilkan keabadian, karena hanya Allah yang kekal abadi dan
hanya aktifitas yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterimanya, tanpa
keikhlasan semua aktifitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan (baca
Q.S. al-Furqon 25).
Menurut Syaikh al-Maroghi, اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ adalah jadilah kamu orang yang bisa membaca dengan kekuasaan
Allah Tuhan penciptamu dan menginginkan kamu bisa membaca walaupun sebelumnya
tidak, yang sesungguhnya saat itu Nabi S.A.W. tidak bisa baca tulis, dan telah
datang perintah Ketuhanan bahwa Nabi S.A.W. hendaknya bisa membaca walaupun
tidak bisa menulis dan akan diturunkan kepadanya al-Quran yang akan dia baca
walaupun dia tidak menulisnya. Ringkasnya adalah Allah yang telah menjadikan
alam semesta mampu menjadikan Nabi S.A.W. bisa membaca walaupun tidak didahului
dengan belajar.
c) Kesimpulan
Menurut kaidah kebasaan menyatakan
apabila ada suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan
objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkau oleh kata tersebut. Oleh karena itu bahwa kata iqro’
digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan
objeknya bersifat umum, maka objek kata tersebut segala yang dapat terjangkau
baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia
menyangkut ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Al hasil perintah iqro’mencakup
telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis
baik suci maupun tidak.
Ayat ini menegaskan supaya kita bisa
membaca.
t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
a)
Tafsir
Mufrodat
Kata الْإِنْسَانَ terambil dari akar
kata أنس, jinak dan harmonis atau dari kata نسي yang berarti lupa,
ada juga yang berpendapatberasal dari kata نوس yakni gerak atau
dinamika.
Makna di atas paling tidak memberikan
gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni bahwa
memiliki sifat lupa, dan kemampuan bergerak atau melahirkan dinamika.
Ia juga adalah makhluk yang selalu atau
sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme dan kebahagiaan kepada pihak
lain.
b) Penjelasan
Kata insan menggambarkan manusia
dengan berbagai keragaman sifatnya, kata ini berbeda dengan kata basyar
yang juga diterjemahkan dengan manusia, tetapi maknanya lebih banyak mengacu
kepada manusia dengan segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara
seseorang manusia dengan mansia lain.
Manusia adalah makhluk pertama yang
disebut Allah dalam al-Qur’an melalui wahyu pertama, bukan saja karena ia
diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau segala sesuatu dalam alam
raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga
karena kitab suci al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita
kehidupannya.
Salah satu cara yang ditempuh oleh
al-Qur’an untuk menghantar manusia menghayati pentunjuk Allah adalah
memperkenalkan jati dirinya antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya.
Ayat ke 2 surat iqro’ menguraikan secara sangat singkat hal tersebut.
Kata ‘alaq dalam kamus bahasa
arab digunakan dalam arti segumpal darah, juga dalam arti cacing yang terdapat
di dalam air bila diminum oleh binatang maka ia tersangkut di kerongkonganya.
Banyak ulama masa lampau memahami ayat di atas dalam pengertian pertama. Tetapi
ada juga yang memahaminya dalam sesuatu yang tergantung di dinding rahim. Ini
karena para pakar embriolog menyatakan bahwa setelah terjadinya pertemuan
antara seperma dan indung telur ia berproses dan membelah menjadi dua, kemudian
empat, kemudian delapan demikian seterusnya sambil bergerak menuju ke kantong
kehamilan dan melekat bertempat serta masuk ke dinding rahim.
c)
Kesimpulan
Dari ayat 2 ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa salah satu yang ditempuh oleh al-Qur’an untuk mengantar manusia
menghayati petunjuk Allah adalah memperkenalkan jati dirinya dengan menguraikan
proses kejadiannya, karena kata ‘alaq bisa juga dipah soial yang tidak
dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung pada selainnya, ini serupa dengan
firman Allah خُلِقَ
الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ [الأنبياء/37] (Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa.)
ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
a)
Tafsir
Mufrodat
Kata الْأَكْرَمُ biasa
diterjemahkan dengan yang maha atau paling pemurah atau semulia-mulia. Kata ini
terambil dari kata كرم yang antara lain
berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat,
mulia, setia dan sifat kebangsawanan.
b) Penjelasan
Dalam al-Qur’an ditemukan kata karim
terulang sebanyak 27 kali. Tidak kurang dari 13 subjek yang disifati dengan
kata tersebut, yang tentu saja berbeda-beda maknanya dan karena itu pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa kata ini digunakan untuk menggambarkan sifat
terpuji yang sesuai dengan objek yang disifatinya. Ucapan yang karim
adalah ucapan yang baik, indah terdengar, benar susunan dan kandungannya, mudah
dipahami cara menggambarkan segala sesuatu yang ingin disampaikan oleh
pembicara. Sedang rizki yang karim adalah yang memuaskan, bermanfaat
serta halal.
Allah menyandang sifat karim menurut
imam al-Ghozali sifat ini menunjuk kepadanya yang mengandung makna antara lain
bahwa : Dia yang bila berjanji menepati janjinya, bila memberi melampoi batas
memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada
selain-Nya. Dia yang bila atau kecil hati, menegur tanpa berlebih, tidak
mengabaikan siapapun yang menuju yang berlindung kepada-Nya, dan tidak
membutuhkan sarana atau perantara.
Ibn al-Arabi menyebut 16 makna dari
sifat Allah ini antara lain : yang disebut oleh al-Ghozali di atas, dan juga “
Dia yang bergembira dengan diterima anugrahnya, serta yang memberi sambil memuji
yang diberinya, Dia yang memberi siapa yang mendurhakainya, bahkan memberi
sebelum diminta dan lain-lain.
Kata al-Karim yang menyifati Allah dalam
al-Qur’an kesemuanya menunjuk kepada-Nya dengan kata Robb bahkan
demikian juga kata akrom sebagaimana terbaca di atas. Penyifatan kata Robb
dan Karim menunjukkan bahwa kata karom atau anugrah kemurahannya
dalam berbagai aspek, dikaitkan dengan rububiyahnya, yakni Pendidikan,
Pemeliharaan dan Perbaikan makhluknya, sehingga anugrah tersebut dalam kadar
dan waktunya selalu bebarengan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan.
Sebagai makhluk, kita dapat menjangkau
betapa besar karom Allah S.W.T. karena keterbatasan kita dihadapannya.
Namun demikian sebagian darinya dapat diungkapkan sebagai berikut : “ bacalah
wahai Muhammad, tuhanmu akan menganugrahkan dengan sifat kemurahannya
pengetahuan tentang apa yang tidak engkau ketahui. Bacalah dan ulangi bacaan
tersebut walaupun objek bacaannya sama, niscaya tuhanmu kan memberikan
pandangan serta pengertian baru yang tadinya belum engkau belum peroleh pada
bacaan yang sama dalam objek tersebut.” “Bacalah dan ulangi bacaan, tuhanmu kan
memberi manfaat kepadamu, manfaat yang tidak terhingga karena dia akrom,
memiliki segala macam kesempurnaan.”
c)
Kesimpulan
Disini kita dapat melihat perbedaan
antara perintah membaca pada ayat pertama dan ke tiga, yakni yang pertama
menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca (dalam segala
pengertian) yaitu membaca demi karena Allah, sedang perintah yang ke dua
menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan bahkan pengulangan bacaan
tersebut.
Dalam ayat ke tiga ini Allah menjanjikan
bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah maka Allah akan
menganugrahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman, wawasan baru walaupun
yang dibacanya itu-itu juga. Apa yang dijanjikan ini terbukti sangat jelas.
Kegiatan “membaca” ayat al-Qur’an menimbulkan penafsiran baru atau pengembangan
dari pendapat yang telah ada. Demikian juga kegiatan membaca alam raya ini
telah menimbulkan penemuan baru yang membuka rahasia alam, walaupun objek
bacaanya itu-itu juga. Ayat al-Qur’an yang dibaca oleh generasi terdahulu dan
alam raya yang mereka huni adalah sama-tidak berbeda, namun pemahaman mereka
serta penemuan rahasianya terus berkembang.
Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.
a)
Tafsir
Mufrodat
Kata الْقَلَمِ terambil dari kata
kerja قلم yang berarti memotong ujung sesuatu. Memotong ujung kutu
disebutتقليم , tombak yang dipotong ujungnya sehingga meruncing dinamai مقالم.
b) Penjelasan
Kata qolam disini dapat berarti
hasil dan penggunaan alam tersebut, yakni tulisan, ini karena bahasa, sering
kali menggunkan kata yang berarti alat atau penyebab untuk menunjuk akibat atau
hasil dari penyebab atau penggunaan alat tersebut, misalnya, jika seseorang berkata
“ saya hawatir hujan” maka yang dimasud dengan kata hujan adalah basah atau
sakit, hujan adalah penyebab semata.
Makna di atas dikuatkan oleh firan Allah
dalam surat al-Qolam (68):1, yakni firmannya “ Nuun, demi qolam dan apa yang
mereka tulis”. Apalagi disebutkan dalam sekian banyak riwayat bahwa awal surat
al-Qolam turuns setelah akhir ayat ke lima surat al-‘Alaq. Ini berarti dari
segi masa turunnya ke dual kata qolam tersebut berkaitan erat, bahwan
bersambung walaupun urutan penulisannya dalam mushaf tidak demikain.
Pada ke dua ayat di atas terdapat apa
yang dinamai ikhtiba’ yang maksudnya adalah tidak disebutkan sesuatu
keterangan, yang sewajarnya ada pada dua susunan kalimat yang bergandengan,
karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada kalimat yang lain. Pada ayat
4 kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat lima, dan pada ayat
5 kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat empat telah disyaratkan
ma’na itu dengan sebutkan pena. Dengan demikian kedua ayat di atas dapat berarti
“ Dia(Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui
sebelumya). Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui
sebelumnya. Kalimat “ yang telah diketahui sebelumnya disisipkan karena isyarat
pada susunan kedua yaitu yang belum atau tidak diketahui sebelumnya”. Sedang
kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena ada kata “ dengan pena” dalam susunan
pertama. Yang dimaksud dengan ungkapan “ telah diketahui sebelumnya adalah
khozanah pengetahuan sebelumnya dalam bentuk tulisan.
c)
Kesimpulan
Dari uraian di atas
kita dapat menyimpulkan bahwa kedua uraian di atas menjelaskan dua cara yang
ditempuh Allah S.W.T. dalam mengajar manusia. Pertama melalui pena atau tulisan
yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara
langsung tanpa alat.
Pada awal surat ini
Allah telah mengenalkan diri sebagai yang maha kuasa, maha mengetahui dan maha
pemurah. Pengetahuan-Nya melimputi segala sesuatu, sedangkan karom atau
kemurahan-Nya tidak terbatas, sehingga dia berkuasa dan berkenan untuk mengajar
manusia dengan atau tanpa pena.
Wahyu Ilahi yang
diterima oleh manusia agung dan suci jiwanya adalah tingkat tertinggi dari
bentuk pengajarannya. Tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Nabi Muhammad S.A.W.
dijanjikan oleh Allah dalam wahyunya yang pertama untuk termasuk dalam kelompok
tersebut.
B. Surat
An – Naml Ayat 40
tA$s% Ï%©!$# ¼çnyZÏã ÒOù=Ïæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# O$tRr& y7Ï?#uä ¾ÏmÎ/ @ö6s% br& £s?öt y7øs9Î) y7èùösÛ 4 $£Jn=sù çn#uäu #
É)tGó¡ãB ¼çnyZÏã tA$s% #x»yd `ÏB È@ôÒsù În1u þÎTuqè=ö6uÏ9 ãä3ô©r&uä ÷Pr& ãàÿø.r& ( `tBur ts3x© $yJ¯RÎ*sù ãä3ô±o ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur txÿx. ¨bÎ*sù În1u @ÓÍ_xî ×LqÌx. ÇÍÉÈ
Artinya
: “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman
melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini
Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari
(akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka
Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".
Penjelasan
Nabi Sulaiman dibantu anakbuahnya
bernama Ashif bin Barkhiya yaitu seorang yang memiliki ilmu dan hikmah.
Kemampuannya memindahkan tahta kerajaan ratu Bilqis lebih cepat daripada
kemampuan jin Ifrith yang menjanjikan tahta itu pindah sebelum nabi sulaiman
berdiri dari tempat duduknya, Ashif bin Barkhiya mampu memindahkan tahta itu
hanya dalam waktu satu kedipan mata. Maka takluklah ratu Bilqis penguasa negeri
Saba’ akhirnya dia menikah dengan Nabi Sulaiman dan hidup berbahagia hingga
akhir hidupnya.
Nabi Sulaiman bersyukur
kepada Allah ketika melihat singgasana itu terletak di hadapannya.
C. Surat
Fathir Ayat 27 – 28
óOs9r& ts? ¨br& ©!$# tAtRr& z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB $oYô_t÷zr'sù ¾ÏmÎ/ ;NºtyJrO $¸ÿÎ=tFøC $pkçXºuqø9r& 4 z`ÏBur ÉA$t6Éfø9$# 7yã` ÖÙÎ/ ÖôJãmur ì#Î=tFøC $pkçXºuqø9r& Ü=Î/#{xîur ×qß ÇËÐÈ ÆÏBur Ĩ$¨Z9$# Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøèC ¼çmçRºuqø9r& Ï9ºxx. 3 $yJ¯RÎ) Óy´øs ©!$# ô`ÏB ÍnÏ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 cÎ) ©!$# îÍtã îqàÿxî ÇËÑÈ
Artinya
:
“Tidakkah
kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat.
“Dan
demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
Penjelasan
Kata ( جدد) judad adalah
bentuk jamak dari kata ( جدّة) juddah yakni
jalan. Kata ( بيض) bidh adalah
bentuk jamak dari kata (أبيض) abyadh, kata (سود) adalah bentuk
jamak dari kata (أسود) aswad/ hitam, dan
kata ( حمر) humur adalah bentuk jamak dari kata ( أحمر) ahmar. Adapun
kata ( غرا بيب) gharabib adalah bentuk jamak dari kata ( غربيب) ghirbib yaitu
yang pekat (sangat) hitam. Sebenarnya istilah yang lumrah dipakai adalah ( سودغرابيب) sud gharabib/
hitam pekat, tetapi redaksi ayat ini membaliknya untuk menggambarkan kerasnya
kepekatan itu. [1]
Pada ayat ini Allah menguraikan
beberapa hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya, yang dapat
dilihat manusia setiap waktu. Jika mereka menyadari dan menginsafi semuanya
itu, tentu mereka akan menyadari pula keesaan dan kekuasaan Allah Yang Maha
Sempurna itu. Di antara tanda-tanda itu adalah Allah menjadikan sesuatu yang
beraneka macamnyayang bersumber dari yang satu. Allah menurunkan hujan dari
langit, sehingga tanaman bisa tumbuh dan mengeluarkan buah-buahan yang beraneka
ragam warna, rasa, bentuk, dan aromanya sebagaimana yang kita saksikan.
Buah-buahan itu warnanya ada yang kuning, merah, hijau dan sebagainya. [2]
Al’alim adalah orang yang sangat
berpengetahuan atau orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam. Pada
mulanya akar kata yang terdiri dari kata (‘ain, lam, mim) artinya adanya bekas
pada sesuatu yang dengan bekas itu sesuatu tersebut berbeda dengan lainnya.
Tanda pada sesuatu disebut juga dengan alamat. ‘Alam juga berarti bendera atau
gunung, karena keduanya menjadi tanda. Kata ilmu juga terkait dengan arti
akar kata ini, karena dengan ilmu seseorang akan berbeda dengan orang yang
tidak berilmu. Kata al ulama di tujukan kepada orang yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang luas dalam bidang apa saja. Dalam konteks keislaman biasanya
ungkapan ini untuk menunjukkan kepada orang yang sangat dalam pengetahuan
agamanya. [3]
Dan setelah Allah menyebutkan satu
persatu tanda-tanda kebesaran, bukti-bukti kekuasaan dan bekas-bekas
penciptaan-Nya, maka Dia terangkan pula bahwa semua itu takkan di ketahui
sebaik-baiknya kecuali oleh orang-orang yang berilmu tentang rahasia alam
semesta yaitu orang-orang yang mengetahui tentang rincian-rincian ciptaan Allah
SWT. Mereka itulah yang paham akan hal itu sebaik-baiknya dan mengetahui betapa
keras hantaman Allah dan betapa besar tekanan-Nya.
Ada sebuah asar yang diriwayatkan
dari Ibn Abbas bahwa dia berkata, “orang yang berilmu tentang Allah Yang
Maha Pencipta di antara hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak menyekutukan Dia
dengan sesuatu pun, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa
yang diharamkan-Nya, memelihara wasiat-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu
dengan-Nya dan memperhitungkan amalnya.”
Sedang Hasan Al-Basri berkata,
“Orang yang berilmu ialah orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih,
sekalipun dia tidak mengetahui-Nya. Dan menyukai apa yang disukai oleh Allah
dan menghindari apa yang dimurkai Allah.” [4]
D. Surat
Al – Mujadalah Ayat 11
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya
: “ Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Penjelasan
Kata
(تفسّحوا) tafassahu dan (افسحوا
) ifsahu
terambil dari kata (فسح) fasaha,
yakni lapang. Sedang kata (انشزوا) unsyzu
terambil dari kata (نشوز) nusyuz,
yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih
ke tempat yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk
memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang
wajar pindah itu atau bangkit melakukan satu aktifitas positif. Ada juga yang
memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan lama-lama di sana, karena boleh
jadi ada kepentingan Nabi SAW yang lain dan yang perlu segera beliau hadapi.
Kata
( مجالس) majalis adalah bentuk jamak dari kata ( مجلس) majlis. Pada
mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi
Muhammad SAW. memberi tuntunan agama ketika itu. Tetapi, yang dimaksud di sini
adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat
berdiri, atau bahkan tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau tuntunan
ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang
yang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun jika Anda-wahai
yang muda-duduk di bus atau di kereta, sedang dia tidak mendapat tempat duduk,
adalah wajar dan beradab jika Anda berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat
di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat
orang berilmu. Tetapi, menegaskan bahwa mereka memiliki derejat-derajat, yakni
yang lebih tinggi daripada yang sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan
itu sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan
besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di
luar ilmu itu.
Tentu
saja, yang dimaksud dengan ( الّذين
اوتواالعلم) alladzina
utu al-‘ilm/ yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan
menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berati ayat di atas membagi kaum
beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal
saleh dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan.
Derajat kelompok yang kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai
ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain,
baik secara lisan, atau tulisan, maupun dengan keteladanan. Ilmu yang di maksud
oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. [5]
Kata
ilmu berasal dari bahasa Arab ‘Ilmu yang berarti pengetahuan, merupakan
lawan kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain
mengatakan bahwa kata ‘ilmu adalah bentuk masdar dari ‘alima,
ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibn Zakaria, pengarang buku Mu’jam Maqayis
al-Lughab bahwa kata ‘ilm mempunyai arti denotatif “bekas sesuatu
yang dengannya dapat dibedakan sesuatu dari yang lainnya”. Menurut Ibn Manzur
ilmu adalah antonim dari tidak tahu (naqid al-jahl), sedangkan menurut
al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu (indrak
al-sya’i bi haqq qatib). Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata Arab
lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah
(kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan
kata yang paling sering digunakan.
Ada
dua jenis pengetahuan, yaitu:
1.
Pengetahuan
biasa
Pengetahuan biasa diperoleh dari
keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, sepperti perasaan, pikiran, pengalaman,
panca indra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek,
cara dan kegunaannya.
2.
Pengetahuan
ilmiah
Pengetahuan ilmiah merupakan keseluruhan bentuk upaya
kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek yang
ditelaah, cara yang digunakaan, dan kegunaan pengetahuan.[6]
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz
Allah
mengetahui segala perbuatanmu. Tidak ada samar bagi-Nya, siapa yang taat dan
siapa yang durhaka di antara kamu. Orang yang berbuat baik akan dibalas dengan
kebaikan, dan orang yang berbuat buruk akan dibalas-Nya dengan apa yang pantas
baginya, atau diampuni-Nya. [7]
Dari
ayat tersebut dapat diketahui tiga hal sebagai berikut:
Pertama,
bahwa para sahabat berupaya ingin saling mendekat pada saat berada di majelis
Rasulullah SAW, dengan tujuan agar ia dapat mudah mendengar wejangan dari
Rasulullah SAW yang diyakini bahwa dalam wejangannya itu terdapat kebaikan yang
amat dalam serta keistimewaan yang agung.
Kedua,
bahwa perintah untuk saling meluangkan dan meluaskan tempat ketika berada di
majelis, tidak saling berdesakan dan berhimpitan dapat dilakukan sepanjang
dimungkinkan, karena cara damikian dapat menimbulkan keakraban di antara sesama
orang yang berada di dalam majelis dan bersama-sama dapat mendengar wejangan
Rasulullah SAW.
Ketiga,
bahwa pada setiap orang yang memberikan kemudahan kepada hamba Allah yang ingin
menuju pintu kebaikan dan kedamaian, Allah akan memberikan keluasan kebaikan di
dunia dan akhirat.Singkatnya ayat ini berisi perintah untuk memberikan
kelapangan dalam mendatangkan setiap kebaikan dan memberikan rasa kebahagiaan
kepada setiap orang islam.Atas dasar inilah Rasulullah SAW menegaskan bahwa
Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut selalu meolong
sesama saudaranya.[8]
E. Surat
Az – Zumar Ayat 9
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
Artinya
: “(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Yakni
dalam keadaan sujud dan berdirinya mereka berqunut. Karena itulah ada sebagian
ulama yang berdalilkan ayat ini mengatakan bahwa qunut adalah khusyuk dalam
salat bukanlah doa yang dibaca dalam keadaan berdiri semata, yang pendapat ini
diikuti oleh ulama lainnya. [9]
Penjelasan
`¨Br& (apakah orang) dapat dibaca amman atau amman- u ìMÏZ»s% qèd (yang
beribadat) yang berdiri melakukan amal ketaatan, yakni salat-u È@ø9©9$# ä!$tR#uä (di
waktu-waktu malam) di saat-saat malam hari - $VJͬ!$s%ur#Y0É`$y" (dengan sujud dan berdiri) dalam salat- â notÅzFy$#x9øts (sedangkan ia takut kepada
hari akhirat) yakni takut akan azab hari itu- ( spuH÷qu#qã_ötur (dan mengharapkan rahmat) yakni syurga-mÎn/u (Tuhannya) sama dengan orang yang durhaka karena melakikan
kekafiran atau perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Menurut qiraat lain, lafadz
amman dibaca am man secara terpisah. Dengan demikian, lafadz am berarti bal
atau hamzah istifham -öttbqçHs>ôètt
t xw ûïÏ%©!$#ur bqßJn=ôèt ûïÏ%©!$#ÈqtGó¡o@yd@è% (katakanlah
adakan\h sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?) tentu saja tidak perihalnya sama dengan perbedaan antar orang yang
alim dengan orang yang jahil-
ã©.x9tGt$yJ¯RÎ) (sesungguhnya orang yang dapat menerima pelajaran) artinya mau
menerima nasihat- É=»t7ø9F{$#(#qä9'ré& (hanyalah orang-orang yang berakal) yakni orang-orang yang
mempunyai pikiran.[10]
Setelah ayat
yang lalu mengecam dan mengancam orang-orang kafir, ayat di atas menegaskan
perbedaan sikap dan ganjaran yang akan mereka terima dengan sikap dan ganjaran
bagi orang-orang beriman.Allah berfirma Apakah orang yang beribadah secara
tekun dan tulus di waktu-waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri scara
mantap dan demikian pula ruku, dan duduk atau berbring dan ia terus-menerus
takut kepada siksa akhirat dan dalam saat yang sama senantiasa mengharap rahmat
Tuhannya sama dengan mereka yang baru berdoa ketika mendapat musibah dan
melupakannya ketika memperoleh nikmat serta menjadikan bagi Allah
sekutu-sekutu? Tentu saja tidak sama.[11]
@ø9©9$#uä!$tR#uä berarti saat diwaktu malam apakah dipermulaan, pertengahan,
atau diakhir malam, dan kesunyian malam membuat orang lebih khusyuk dalam
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. ÈAllah
memerintahkan Rasulullah SAW bertanya kepada kafir Quraisy apakah kamu, hai
orang musyrik, lebih baik keadaan dan nasibmu daripada yang senantiasa
menunaikan ketaatan dan selalu melaksanakan tugas-tugas ibadah pada saat-saat
malam, ketika ibadah lebih berat bagi jiwa dan lebih jauh dari riya, sehingga
ibadah di waktu itu lebih dekat untuk diterima, sedang orang itu dalam keadaan
takut dan berarap ketika beribadah. Kesimpulannya, apakah orang yang taat itu
seperti halnya orang yang bermaksiat. Kemudian, Allah SWT menegaskan tentang
tidak ada kesamaan diantara keduanya dan memperingatkan tentang keutamaan ilmu
dan betapa mulianya beramal berdasarkan ilmu. Yang diterangkan dalam kalimat
selanjutnya, yang berbunyi:
öö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt
Katakan
hai Rasul kepada kaummu : Apakah sama orang yang mengetahui pahala yang akan
mereka peroleh bila melakukan ketaatan kepada Tuhan mereka dan mengetahui
hukuman yang akan mereka terima bila mereka bermaksiat kepada-Nya, dengan
orang-orang yang tidak mengetahui hal itu. Yaitu, orang-orang yang merusak amal
perbuatan mereka secara membati buta, sedangkan terhadap amal-amal mereka yang
baik tidak mengharapkan kebaikan, dan terhadap amal-amal yang buruk mereka
tidak takut kada keburukan.
Perkataan
tersebut dinyatakan dengan susunan pertanyaan (istifham) untuk menunjukkan
bahwa orang-orang yang mencapai derajat kebaikan tertinggi; sedang yang lain
jatuh ke dalam jurang keburukan. Dan hal itu tidaklah sulit dimengerti oleh
orang-orang yang sabar dan tidak suka membantah. Kemudian, Allah SWT
menerangkan bahwa hal tersebut hanyalah dapat dipahami oleh orang-orang yang
mempunyai akal. Karena orang-orang yang tidak tahu seperti telah
disebutkan dalam hati mereka terdapat tutupsehingga tidak dapat memahami suatu
nasehat dan tidak berguna bagi mereka suatu peringatan. Firman-Nya :
$yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
Sesungguhnya
yang dapat mengambil pelajaran dari hujjah-hujjah Allah dan dapat menuruti
nasehat-Nya dan dapat memikirkannya, hanyalah orang-orang yang mempunyai akal
dan pikiran yang sehat, bukan orang-orang yang bodoh dan lalai. Pelajaran yang
dimaksud dapat berasal dari pengalaman hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran
Allah yang terdapat di alam semesta beserta isinya, atau yang terdapat dalam
dirinya serta kisah-kisah umat yang lalu.
Dari
uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa orang-orang yang berakal dan
berfikiran sehat akan mudah mengambil pelajaran, dan orang-orang yang seperti
itu akan memiliki akal pikiran sehat serta iman yang kuat.[12]
Kemudian
Allah SWT memerintahkan kepada Rasul Nya agar menanyakan kepada orang-orang
kafir Quraisy, apakah mereka lebih beruntung ataukah orang yang beribadat di
waktu malam, dalam keadaan sujud dan berdiri dengan sangat khusyuknya. Dalam
melaksanakan ibadahnya itu timbullah dalam hatinya rasa takut kepada azab Allah
di kampung akhirat, dan memancarlah harapannya akan rahmat Allah.
Perintah
yang sama diberikan Allah kepada Rasul Nya agar menanyakan kepada mereka apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Yang
dimaksud dengan orang-orang yang mengetahui ialah orang-orang yang mengetahui
pahala yang akan diterimanya, karena amal perbuatannya yang baik, dan siksa
yang akan diterimanya apabila ia melakukan maksiat. Sedangkan orang-orang yang
tidak mengetahui ialah orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui hal itu,
karena mereka tidak mempunyai harapan sedikutpun akan mendapat pahala dari
perbuatan baiknya, dan tidak menduga sama sekali akan mendapat hukuman dan amal
buruknya.
Di
akhir ayat Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran, baik pelajaran dari pengalaman hidupnya atau dari
tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat di langit dan di bumi serta isinya,
juga terdapat pada dirinya atau suri teladan dari kisah umat yang
lalu. ﺍﻨﺎﺀﺍﻠﻴﻝ
Ana’ bentuk jamak dari al-Inw atau al-an-yu
atau al-ina. Artinya pada saat diwaktu malam atau siang. Jadi kata ana
al-lail artinya saat di waktu malam apakah di permulaan, pertengahan atau
di akhir malam. Orang yang melakukan ibadah pada malam hari akan terjauh dari
sifat ria, kegelapan malam juga bisa membikin hati bisa konsentrasi
kepada Allah.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian ayat-ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan diantaranya:
- Allah akan lebih meninggikan
derajat orang-orang yang beriman serta berilmu pengetahuan, dibandingkan
dengan orang-orang yang hanya sekedar beriman saja.
- Ada dua jenis pengetahuan, yaitu
pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah.
- Ulama’ adalah orang yang mempunyai
ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang apa saja.
- Sumber ilmu pada garis besarnya ada
dua, yaitu:
a.
Ilmu
yang bersumber pada wahyu (al-Qur’an) yang menghasilkan ilmu naqli.
b.
Ilmu
yang bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli.
B. Saran
Hendaknya kita sebagai seorang muslim
harus selalu menuntut ilmu sebagaimana yang dijelaskan dalam Al – Quran bahwa
menuntut ilmu adalah suatu keharusan setiap manusia karena Allah akan
mengangkat derajat bagi tiap – tiap orang yang berilmu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Mustafa Al-Maraghi. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi.
PT. Karya Toha Putra : Semarang.
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. 2004. Tafsir Ibnu
Kasir. Sinar Baru Algesindo : Bandung.
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. 1992. Tafsir
Al-Maraghiy juz XXII. Toha Putra : Semarang.
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. 1989. Tafsir
Al-Maraghiy juz XXVIII. Toha Putra : Semarang.
Departemen Agama Republik Indonesia, Tafsir Depag, Jilid
VIII
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid VIII.
Lentera Abadi : Jakarta
Imam Jalaludin Al-Mahalili dan Iman Jalaludin As-Suyuti. 2005. Tafsir
Jalalain. Sinar Baru Algesindo : Bandung.
M. Quraysh
Shihab. 2002. Tafsir Al-Misbah.
Lentera Hati : Jakarta.
Nata, abuddin. 2002. Tafsir Ayat-ayat
Pendidikan. PT RajaGrafindo Persada : Jakarta.
Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah vol. 13. Lentera Hati : Jakarta.
Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah vol. 13. Lentera Hati : Jakarta.
[2] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan
Tafsirnya, jilid VIII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 161
[3] Kementrian Agama RI, Ibid., hlm. 160
[4] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, juz XXII, op.cit.,
hlm. 219-220
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol.
13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 490-491
[6] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,
(Jakarta: PT RajaGrafido Persada, 2002), hlm. 155-156
[7] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir
Al-Maraghiy, juz XXVIII, (semarang: CV Toha Putra, 1989), hlm. 26
[8] Abuddin Nata, op.cit., hlm. 29
[9] Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir
Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h. 347.
[10] Imam Jalaludin Al-Mahalili dan Iman Jalaludin
As-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), h. 676
[11] M. Quraysh Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 278.
[12] Ahmad Mustafa Al-Maraghi. Terjemah Tafsir
Al-Maraghi. (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993), h. 277-279.
[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Tafsir
Depag, Jilid VIII , h. 416
komentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog kami EmoticonEmoticon