BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka
kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “keadilan formal” (formal
justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang
juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang
dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum
yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang
diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan
mengabadi.
Namun demikian, wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi
adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di
Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan
masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme. Salahsatu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini
terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses
yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang
mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif
penyelesaian atas masalahnya.
Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik
Indonesia guna membentuk Negara Hukum (recht staat), dan bukan Negara
Kekuasaan (macht staat), maka salahsatu indikator capaiannya adalah
terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh
hukum (citizen who abides the law), atau bahkan masyarakat yang patuh
hukum (law abiding citizen). Dalam situasi tersebut, proses penegakan
hukum tidak seyogyanya sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan mempergunakan
metode keadilan formal, yang salahsatunya berupa tindakan kepolisian represif
dan dilanjutkan dengan proses hukum litigatif (law enforcement process).
Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak bergantung pada
upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya,
kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi
“kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost).
Memang, tidak terlalu tepat untuk mengatakan yang sebaliknya, bahwa dalam
suatu negara kekuasaan atau macht staat tadi, yang cenderung dilakukan adalah
proses penegakan hukum formal via litigasi. Dalam kenyataannya, di
negara-negara seperti itu, kalaupun dilakukan suatu proses penegakan hukum
terhadap suatu perbuatan melanggar hukum, yang sering terjadi adalah suatu
formalitas hukum atau bahkan pengenyampingan hukum sama sekali. Adalah
kooptasi besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum itulah (contoh
terjelas adalah terhadap peradilan), sehingga mampu menghasilkan putusan yang
tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil
Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun
yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang
muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak
mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya
adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu
situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang
diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak
yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata
bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi
yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau
sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka atau elegant
solution.
Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan
lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu,
bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative
dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR).
B. Rumusan Masalah
A. Apakah pengertian penyelesaian sengketa diluar pengadilan?
B. Apa dasar hukum penyelesaian sengketa?
C. Bagaimana dinamika penyelesaian sengketa di Indonesia?
D. Apa bentuk – bentuk penyelesaian sengketa?
C. Tujuan Penulisan
A. Untuk mengetahui pengertian penyelesaian sengketa diluar pengadilan;
B. Untuk mengetahui dasar hukum penyelesaian sengketa;
C. Untuk mengetahui dinamika penyelesaian sengketa di Indonesia;
D. Untuk mengetahui bentuk – bentuk penyelesaian sengketa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian penyelesaian sengketa di
Luar Pengadilan
Dalam kamus besar bahasa indonesia
sengketa diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat,
pertengkaran, perbantahan, perkara yang kecil dapat juga menimbulkan sengketa ataupun perkara
besar seperti daerah yang
menjadi rebutan, pertikaian, perselisihan yang akhirnya dapat
diselesaikan dengan cara pengadilan (Litigasi) maupun diluar pengadilan
(Non-litigasi).[1]
Penyelesaian Sengketa diluar pengadilan disebut
Non-litigasi atau juga sering disebut sebagai alternative
dispute resolutions (ADS) yang berarti alternatif penyelesaian
sengketa (APS)[2]
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ialah upaya penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
di luar pengadilan dengan cara arbritase, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian para ahli. Sedangkan dalam Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa UU Arbitrase
dan APS berbunyi:“Sengketa
atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri
ataupun Pengadilan Agama.”[3]
Dari beberapa keterangan
diatas dapat dipahami bahwa ketika ada dua orang atau lebih yang bersengketa
dan ingin menyelesaikan masalahnya pasti
dibutuhkan pihak ketiga sebagai jalan untuk bermufakat atau mencari putusan, jalan
yang diambil selain pengadilan atau litigasi dan diluar yaitu Non-litigasi
dengan penyelesain sengketa diluar pengadilan dengan seperti Arbitrase,
mediasi, negosiasi, konsiliasi.
B. Dasar Hukum penyelesaian sengketa
diluar pengadilan
Dasar hukum penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 3
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 tersebut, dinyatakan penyelesaian perkara di
luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap
diperbolehkan. Selain itu penyelesaian perkara di luar pengadilan juga diatur
dalam pasal 14 ayat (2) Undang –undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan
bahwa, ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha
penyelesaian sengketa perkara secara perdamaian.[4]
Dan dalam
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa UU Arbitrase
dan APS berbunyi:“Sengketa
atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
C. Dinamika penyelesaian sengketa di indonesia
Di Indonesia, APS sudah lama dikenal dalam konstruksi hukum adat. Secara
historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan
kekeluargaan. Apabila timbul perselisihan di dalam masyarakat adat, anggota
masyarakat yang berselisih tersebut memilih menyelesaikannya secara adat pula
misalnya melalui tetua adatnya atau melalui musyawarah. Sesungguhnya
penyelesaian sengketa secara adat ini yang menjadi benih dari tumbuh kembangnya
APS di Indonesia.
Seiring waktu berjalan semakin berubah pula problem-problem sengketa yang
terjadi dimasyarakat, hal ini juga sangat jelas semakin dibutuhkan pihak ketiga
sebagai penengah dalam suatu sengketa dalam hal ini yaitu Pengadilan Sebagai
jalur Litigasi dan APS sebagai jalur dari Non-litigasi.
Semakin beragam sengketa yang terjadi dimasyarakat dan semakin paham juga
masyarakat akan kesadaran untuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan pihak
ketiga, yang dahulu pada awalnya masalah yang timbul di masyarakat hanya
perkara kecil yang selanjutnya diselesaikan dengan hukum adat yang berkembang
di tempatnya, namun sekarang dengan berkembangnya masalah sengketa tersebut
maka lembaga profesional lah yang akan dibutuhkan baik itu pengadilan maupun
lembaga diluar pengadilan.
Adanya lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak lepas juga
karena Penyelesaian sengketa melalui pengadilan resmi, pada
umumnya memakan waktu lama dan membutuhkan biaya yang besar karena faktor
prosedur sistem peradilan sangat kompleks dan berbelit – belit. Bahkan untuk
suatu kasus perdata dapat dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan
sengketa sampai pada putusan hakim dibacakan. Tidak hanya itu, putusan yang
telah keluar dari pengadilan pun belum tentu memberikan rasa puas bagi para
pihak yang bersengketa sehingga mereka mengajukan upaya hukum seperti banding,
kasasi atau peninjauan kembali.
Hal itu
membuat proses penyelesaian sengketa mereka menjadi sangat tidak efektif dan
efisien. Terlebih jika para pihak mempunyai kesibukan sendiri sehingga hanya
punya waktu terbatas untuk mengikuti proses penyelesaian sengketa.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan adanya alternative lain dalam
penyelesaian sengketa yaitu Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS). Adanya APS di indonseia telah mendapatkan regulasi
oleh pemerintah dibuktikan dengan adanya UU mengenai Arbritase dan APS Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 6 ayat (1) tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
D.
Bentuk – Bentuk penyelesaian sengketa
a.
Arbitrase
Arbitrase
berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Menurut Frank
Elkoury arbitrase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih oleh para pihak
secara sukarela karena ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral
sesuai pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara
tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara
final dan mengikat. Sedangkan menurut Prof. Gary Goodpaster “arbitration is
theprivete adjuducaticn of dispute parties, anticipating possible dispute or
experience an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker
they in some fashion selec.”
Menurut UUNo. 30
Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari beberapa pengertian yang
disampaikan di atas, pada dasamya terdapat kesamaan bahwa arbitrase adalah
perjanjian perdata di mana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi di antara mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang
diputuskan oleh orang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau
beberapa orang wasit yang ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak
diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara rnusyawarah dengan menunjuk pihak
ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. Dari
bentuknya di Indonesia dikenal dua macam lembaga arbitrase, yaitu arbitrase
institusional dan arbitrase ad hoc.
Arbitrase
institusional adalah arbitrase yang sifatnya permanen
dan melembaga, yaitu suatu organisasi tertentu yang menyediakan jasa
administrasi yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan
prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, dan pengangkatan para arbiter.
Arbitrase
Ad Hoc atau arbitrase volunter adalah badan
arbitrase yang tidak permanen. Badan arbitrase ini bersifat sementara atau
temporer, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan/memutuskan perselisihan
tertentu sesuai kebutuhan saat itu. Setelah selesai tugasnya badan ini bubar
dengan sendirinya.
Ciri- ciri
arbitrase antara lain :
1.
Adanya pihak ketiga netral yang terdiri dari seorang
atau panel dari arbiter.
2.
Argumentasi dalam arbitrase dapat disampaikan baik
lisan maupun tertulis dengan dokumen tertentu sebagai bukti.
3.
Keputusan arbutrase bersifat mengikat
4.
Dalam arbitrase terdapat beberapa hal yang berkaitan
dengan provisional relief, initiating arbitrations, dan law applied by the
arbitrator (Nolan-Haley,1991:128,149-155)[7]
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, pada prinsipnya mekanisme penyelesaian
sengketa dengan arbitrase adalah melalui tiga tahapan, yaitu, tahap persiapan
atau pra pemeriksaan, tahap pemeriksaan atau penentuan dan tahap pelaksanaan.
Tahap pertama adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna
sidang pemeriksaan perkara. Tahap persiapan antara lain
meliputi :
1.
Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis;
2.
Penunjukan arbiter;
3.
Pengajuan surat
tuntutan oleh pemohon;
4.
Jawaban surat tuntutan oleh termohon;
5.
Perintah arbiter agar para
pihak menghadap sidang arbitrase.
Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap mengenai jalannya
sidang pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses
pembuktian sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter.
Selanjutnya adalah tahap pelaksanaan sebagai tahap terakhir, yaitu tahap
untuk merealisasikan putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat.
Pelaksanaan putusan dapat dilakukan secara sukarela maupun dengan paksa melalui
eksekusi oleh Pengadilan negeri.
Adapun mekanisme arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999
adalah sebagai berikut :
1.
Permohonan
arbitrase dilakukan dalam bentuk
tertulis dengan cara
menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbitrase yang memuat
identitas para pihak, uraian singkat tentang sengketa yang disertai dengan
lampiran bukti-bukti dan isi tuntutan yang jelas. Kemudian surat
tuntutan dan surat permohonan tersebut
disampaikan kepada termohon yang disertai
perintah untuk memberikan tanggapan dan jawaban dalam waktu 14
(empat belas) hari sejak diterimanya
tuntutan oleh termohon, selanjutnya
diteruskan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis
arbitrase memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang
arbitrase dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya
surat perintah tersebut.
2.
Pemeriksaan
sengketa arbitrase harus dilakukan secara
tertulis, kecuali disetujui para pihak maka pemeriksaan dapat
dilakukan secara lisan. Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau
majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Jumlah arbiter
harus ganjil, penunjukan 2 (dua) arbiter dilakukan oleh para pihak yang
memiliki wewenang untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga yang nantinya
bertindak sebagai ketua majelis arbitrase. Arbiter yang telah menerima
penunjukan tersebut tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para
pihak.
3.
Dalam sidang
pertama diusahakan perdamaian, bila dicapai kesepakatan maka arbiter atau
majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang sifatnya final dan
mengikat para pihak dan memerintahkan untuk memenuhi ketentuan perdamaian
tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok
sengketa akan dilanjutkan. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam
waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase
terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak
apabila diperlukan.
4.
Atas perintah
arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil
seorang atau lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar kesaksiannya yang
sebelumnya disumpah. Saksi atau saksi ahli tersebut dapat memberikan keterangan
tertulis atau didengar keterangannya di muka sidang arbitrase yang dihadiri
oleh para pihak atau kuasanya.
5.
Putusan arbiter
atau majelis arbitrase diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan
keadilan dan kepatutan, putusan tersebut harus diucapkan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Putusan arbitrase
bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri
setempat.
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dapat juga dilakukan dengan menggunakan lembaga
arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak, yang
dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali
ditetapkan lain.
Adapun syarat
menjadi arbiter sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut :
1.
cakap melakukan
tindakan hukum;
2.
berumur paling
rendah 35 tahun;
3.
tidak mempunyai
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah
satu pihak bersengketa;
4.
tidak mempunyai
kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
5.
memiliki
pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
b.
Mediasi
Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation adalah
penyelesaian sengketa dengan menengahi. Orang yang menjadi penengah disebut
mediator. “ Mediation is private , informal dispute resolution process
in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach
an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties
(Hendry Campbell Black)[8].
Mediasi sendiri diatur
dalam Pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. Di dalam mediasi, seorang mediator
mempunyai 2 macam peran yang dilakukan, yaitu pertama, mediator berperan pasif.
Hal ini berarti para pihak sendiri yang lebih aktif untuk menyelesaikan
permasalahan yang mereka hadapi sehingga peran mediator hanya sebagai penengah,
mengarahkan penyelesaian sengketa, dan sebagainya. Kedua, mediator
berperan aktif. Hal ini berarti mediator dapat melakukan
berbagai tindakan seperti merumuskan dan mengartikulasi titik temu untuk
mendapatkan kesamaan pandangan dan memberikan pengertian kepada kedua belah
pihak tentang penyelesaian sengketa. Dengan demikian seorang mediator
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut karena kedua pihak yang bersengketa
bersifat menunggu.
Dari uraian tersebut
dapat disampaikan bahwa ciri-ciri dan syarat penyelesaian sengketa melalui
mediasi adalah :
Ciri-ciri :
1.
Perundingan
dengan bantuan pihak ketiga yang netral.
2.
Pihak ketiga
netral tersebut dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.
3.
Tugas mediator
adalah memberikan bantuan substansial dan prosedural, dan terikat pada kode
etik sebagai mediator.
4.
Mediator tidak
berwenang mengambil keputusan. Keputusan diambil oleh pihak yang bersengketa
itu sendiri.
Syarat
:
1.
Adanya kekuatan tawar menawar yang
seimbang antara para pihak
2.
Para pihak menaruh harapan terhadap hubungan
dimasa depan
3.
Terdapat banyak persoalan yang
memungkinkan terjadinya pertukaran
4.
Adanya urgensi untuk menyelesaikan
secara cepat
5.
Tidak adanya rasa pemusuhan yang
mendalam atau yang telah berlangsung lama di antara para pihak
6.
Apabila para pihak mempunyai pendukung
atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan dapat
dikendalikan
7.
Membuat suatu preseden atau
mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan dengan penyelesaian
sengketa yang cepat
8.
Jika para pihak berada dalam proses
litigasi, maka kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti pengecara atau
penjamin tidak diberlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi.
c.
Negosiasi
Negosiasi secara umum
dapat diartikan sebagai satu upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak tanpa
melalui proses peradilan. Dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar
kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Dengan demikian negosiasi adalah
proses tawar menawar yang bersifat konsensus yang di dalamnya para pihak
berusaha memperoleh atau mencapai persetujuan tentang hal-hal yang
disengketakan atau yang berpotensi menimbulkan sengketa. Para pihak yang
bersengketa berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan
yang mereka hadapi secara korporatif dan saling terbuka. Meskipun sederhana,
negosiasi adalah suatu keterampilan yang bersifat mendasar yang dibutuhkan oleh
para negosiator. Negosiasi baik yang bersifat tranksional (transactional
negotiation) maupun dalam konteks penyelesaian sengketa (dispute
negotiation), tidak hanya sekedar sebuah proses yang bersifat intuitive,
melainkan proses yang harus dipelajari, perlu pengetahuan, strategi dan
keterampilan tertentu. Menurut Suparto Wijoyo, bahwa negosiasi ini bersifat
informal, tidak terstruktur, dan waktunya tidak terbatas.
d.
Konsiliasi
Apabila
pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak
ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut dengan
konsiliasi. Penyelesaian sengketa model konsiliasi mengacu pada pola proses
penyelesaian sengketa secara konsensus antarpihak, dimana pihak netral dapat
berperan secara aktif maupun tidak aktif. Pihak-pihak yang bersengketa harus
menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya
sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa.
Apabila
dalam perundingan di tingkat konsiliasi ini terjadi kesepakatan para pihak,
maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak beperkara.
Selanjutnya didaftarkan di PHI untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.
Sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka pihak yang merasa kurang
puas atau tidak sesuai dengan tuntutannya dapat mengajukan surat gugatan ke
PHI.
Penyelesaian
perselisihan melalui konsiliasi ini harus tuntas dalam waktu 30 hari kerja,
terhitung sejak menerima permintaan dari salah satu pihak atau para pihak yang
beperkara dalam satu perusahaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ialah upaya penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
di luar pengadilan dengan cara arbritase, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian para ahli. Sedangkan dalam Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa UU Arbitrase
dan APS berbunyi:“Sengketa
atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri
ataupun Pengadilan Agama.”
DAFTAR PUSTAKA
howard Raiffa,
The Art and Science of Negotiation, Cambridge, Massachusetts : Harvard
University Press, 1982, dalam Suyud Margono,
Kamus besar
bahasa Indonesia (KBBI)
Mudzakkir,
“Alternative Dispute Resolution (ADR) : Penyelesaian Perkara Pidana Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007
Pasal 85 ayat
(2) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang berbunyi : “(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.”
[1]
Kamus
besar bahasa Indonesia (KBBI)
[2] Mudzakkir,
“Alternative Dispute Resolution (ADR) : Penyelesaian Perkara Pidana Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007
[3] Pasal 85
ayat (2) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang berbunyi : “(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.”
[4] howard
Raiffa, The Art and Science of Negotiation, Cambridge, Massachusetts : Harvard
University Press, 1982, dalam Suyud Margono, hal. 55
Download File Asli
komentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog kami EmoticonEmoticon