BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan dan perwujudannya
merupakan hasrat alami manusia yang terbaik dengan naluri. Hal ini merupakan
salah satu berkah terbesar dari Allah, keinginan untuk membangun keluarga
inilah yang menghindarkan kaum muda dari fantasi terhadap mimpi-mimpi yang tak
masuk akal dan segala kecemasan bathin. Pernikahan dapat membuat mereka
menemukan pasangan yang baik dan serta yang mau berbagi rasa dalam masa-masa
susah dan bahagia.
Pernikahan tidak selalu berjalan
mulus. Terkadang justru berakhir dengan perceraian. Perceraian dipilih karena
dianggap sebagai solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera rumah
tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa kelegaan. Sebaliknya,
seringkali perceraian justru menambah berkobarnya api perseteruan.
Berbagai media pun sering
menayangkan perseteruan pada proses maupun paska perceraian yang dilakukan oleh
para publik figur Indonesia melalui tayangan-tayangan infotainment. Salah satu
pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Apabila pasangan suami istri
bercerai, siapa yang berhak mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu ? Ayah yang pada awalnya adalah kepala
keluarga. Ia merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Di sisi lain, ibu pada
awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil, melahirkan, menyusui,
merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh atas hak asuh anak.
Bagaimana solusinya?
Untuk itu kami akan membahas
lebih dalam mengenai “Hadlonah
(Pengasuhan Anak”), yang mana seorang isteri maupun suami masih
mempunyai kewajiban untuk mengasuh anak dari buah pernikahan mereka sehingga
anak hasil perkawinan mereka terpelihara dengan baik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uarian pada latar belakang diatas, dapat disimpulkan beberapa
Rumusan masalah sebagai berikut ;
a. Apa pengertian
Hadlonah?
b. Bagaimana dasar hukum
Hadlonah?
c. Apa saja Syarat dan
Rukun pengasuhan anak (Hadlonah)
C.
Tujuan Penulisan
a.
Mengetahui pengertian
Hadlonah.
b.
Mengetahui dasar hukum
Hadlonah.
c.
Mengetahui syarat pengasuhan
anak (Hadlonah).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadlonah
Hadlonah menurut bahasa adalah
Al-Janbu berarti erat atau dekat.
Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih
kecil dan belum dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala
yang dapat membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya
supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan
dihadapinya.[1]
Pengertian ini selaras dengan
pendapat yang dikemukakan oleh sayid sabiq bahwa Hadlonah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil
laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak
dari siapapun, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani dan rohani agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawabnya.[2]
Dengan demikian, mengasuh artinya
memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang
belum mumayyiz atau belum dapat membedakan
antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci
dan sebagainya.
B. Dasar Hukum Hadlonah
Hubungan antara orang tua dengan anak dalam hal ini
adalah hubungan kekal tidak bisa putus atau terhalang keadaan sesuatu apapun
baik karena perceraian maupun salah satunya meninggal dunia, tidak menyebabkan
putusnya kewajiban terhadap anaknya sesuai dengan Q. S. Al-Baqarah ayat : 233
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu menyempurnaka penyusuan
dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada para ibu dengan cara yang
makruf.”
Ayat tersebut dipahami
bahwa seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan
anak-anaknya,[3] sedangkan
dalam pemeliharaan anak yang setelah bercerai antara suami dan istri, rupanya
prioritas jatuh pada seorang ibu yang paling berhak untuk mengasuhnya.
Hal ini berdasarkan
hadis yang diriwayatkan oleh At-tirmidzi:
“Dari ibnu Syuaib
dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar dan sesungguhnya seorang
wanita berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini perutku adalah
kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya, dan susuku adalah tempat
minumnya, maka setelah mendengar aduan itu, kemudian Nabi Muhammad SAW
bersabda:”Engkaulah yang lebih berhak menjaga anak itu selama engkau belum
kawin dengan yang lain.”
Hadis
tersebut menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak dari pada ayahnya, selagi si ibu
belum menikah lagi. Para fuqaha’ sepakat bahwa hak pemeliharaan
anak (hadlonah) ada
pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan
sudah disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya.
Sedangkan keputusan ketika anak sudah bisa memilih
yang baik baginya, itu sesuai dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah:
”Dari Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya seorang
perempuan berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa
anakku, padahal dia telah memberi manfaat bagi saya, sudah dapat mengambil air
minum untuk saya dari sumur Abu Inabah.
Setelah suaminya datang lalu nabi SAW bersabda kepada
aak itu: wahai anak ini ibu dan ini ayahmu, peganglah tangan yang mana di
antara keduanya yang kamu sukai, lalu anak itu memegang tangan ibunya dan
wanita itu pergi bersama anaknya.”
Sedangkan para Imam Mazhab berbeda
pendapat tentang suami istri yang bercerai, adapun mereka mempunyai seorang
anak atau lebih. Siapakah yang berhak memelihara anaknya?
a.
Menurut pendapat Imam Hanafi dalam
salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan
dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan,
minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak
memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia
dewasa, dan tidak diberi pilihan.
b.
Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak
memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan
disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki
yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.
c.
Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak
memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia
tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak
tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.
d.
Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua
riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas anak laki-laki sampai
ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya atau masih
tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh
tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua,
seperti pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga
anak itu besar dan berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti
makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak
memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga
ia dewasa dan tidak diberi pilihan.[4]
Pengasuhan anak dijelaskan dalam UU
No. 1 pada tahun 1974 pasal 41 akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah
:
a.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara,
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai pengasuhan anak –anak, pengadilan memberi keputusan,
b.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pendidikan dan pemeliharaan, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut.[5]
Dalam pasal
tersebut hanya dijelaskan bahwa kedua orang tua masih memiliki kewajiban
pemeliharaan kepada anaknya setelah terjadi perceraian, akan tetapi belum jelas
arah anak akan di asuh oleh si bapak atau si ibunya.
Selanjutnya dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 105 huruf (a)
dijelaskan bahwa, Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya;[6]
artinya bahwa ketika anak belum cukup umur (dewasa/baligh) maka
pengasuhan di pegang oleh ibunya, ketika ibu memang masih memenuhi syarat dari
pengasuhan tersebut. Mengenai hal tersebut juga dijelaskan dalam Pasal 156
mengenai Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah ; anak yang belum mumayyiz berhak
mendapatkan hadlonah dari ibunya.[7]
Bagi anak yang sudah cukup
umur, Pasal 105 “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaan“[8]
dijelaskan juga dalam Pasal 156 huruf (b).[9]
Mengenai biaya
pemeliharan/pengasuhan sang anak, Ayah lah yang tetap menanggung pembiayaan
tersebut.[10] Dijelaskan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Pasal 105 huruf (c) dan pasal 156 huruf (b), lantas Upah hadlonah seperti upah menyusuhi, ibu
tidak berhak atas upah hadlonah
selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama
masih dalam masa iddah. Karena dalam keadaan tersebut, ia masih mempunyai hak
nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah. Maka ia berhak mendapatkan upah itu
seperti haknya kepada upah menyusui, apabila setelah habisnya masa iddah. Allah
SWT. Berfirman: (At-Talak:06)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
C. Syarat
dan pengasuhan anak (Hadlonah)
Setelah dasar hukum itu terealisasikan tentu pengasuh menjadi faktor untuk
kecakapan dan kepatutan untuk memelihara sang anak maka harus ada syarat-syarat
tertentu bagi yang akan melaksanakan hadlonah.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa meskipun pasangan telah
bercerai, akan tetapi masih memiliki kewajiban untuk mengasuh si anak, baik si
ibu ataupun si bapaknya, berikut beberapa syarat hadlonah ;
a.
Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani
dan menyelenggarakan Hadlonah.
b.
Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih
terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya
c.
Beragama Islam, karena masalah ini untuk kepentingan
agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan
terhadap orang kafir
d.
Amanah
e.
Belum menikah dengan laki-laki lain bagi ibunya
f.
Bermukim bersama anaknya, bila si ibu pergi, maka ayah
lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.
g.
Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia
butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
h.
Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku
tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tanganya.[11]
Syarat di atas bukan
bagian mutlak karena hal terbaik bagi anak merupakan faktor utama untuk Hadlonah seperti penyebutan dalam KHI (Kompilasi
Hukum Islam) Pasal 109
“Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian
seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan
kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila, melalaikan atau
menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang
berada di bawah perwaliannya”[12]
Karena tiadanya aturan yang jelas, maka pada umumnya
secara baku Hakim mempertimbangkan
putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya
pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini
perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak
baik secara psikologis, materi maupun non materi. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal
229 ditegaskan bahwa “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan kepadanya, wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Jadi Hakim harus mempertimbangkan sungguh-sungguh
apakah si ibu layak mendapatkan
hak untuk mengasuh anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun. Jadi didasarkan pengertiannya, maka konsep hak Hadlonah dalam Kompilasi Hukum Islam
tidak jauh berbeda dengan konsep perlindungan sebagaimana diatur dalam
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku umum yakni tetap harus
memperhatikan perilaku dari orang tua tersebut (seperti si ibu tidak bekerja
sampai larut malam, lebih mengutamakan kedekatan kepada si anak dibandingkan
kesibukkan diluar rumah dan sebagainya) serta hal-hal terkait
kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi
D.
Faktor Penyebab Hak Asuh Anak Jatuh ke tangan Ayahnya
Selain beberapa masalah yang
menyebabkan si ibu tidak mendapatkan hak asuh bagi anaknya, melainkan hak asuh
menjadi di tangan sang ayah disebabkan oleh beberapa faktor berikut ;
a.
Si pemegang hak Hadlonah sebelumnya Tidak beragama
Islam/pindah dari agama Islam (murtad);
b.
Berkelakuan buruk, seperti pemabuk, penjudi, pecandu
narkoba, penganiayaan;
c.
Mengalami gangguan jiwa.
Hakim juga mengatakan tidak hanya mempertimbangkan
berhak atau tidaknya seorang ibu untuk mengasuh anak, Hakim juga
mempertimbangkan apakah ayah dari anak itu mampu memelihara anak tersebut. Ayah
dari anak itu harus sanggup dan bertanggung jawab atas pemeliharaan, pendidikan
dan biaya hidup anak itu.3
Dalam
kasus tertentu Hakim berdasarkan kepada hujat yaitu alasan hukum dari
kitab-kitab klasik sehingga memberikan hak Hadlonah anak yang belum mumayyiz
kepada ayahnya dengan alasan bahwa ibunya akan berpindah tempat,
kitab juga menjadi rujukan kalau Hakim berkeyakinan seperti itu, karena
disamping berpegangan pada hukum materil seperti Kompilasi Hukum Islam,
Hakim juga berpegangan pada
sumber hukum tidak tertulis (kitab-kitab) apabila Majelis Hakim memandang dalam
kasus tertentu dilihat bahwa anak tersebut lebih
maslahat diberikan hak
Hadlonah kepada ayahnya, Majelis Hakim bisa menjatuhkan putusan
demikian dan berani mengambil keputusan apabila ditemukan alasan-alasan hukum kontemporer seperti
tidak mempunyai pekerjaan, cacat moral (selingkuh, pemabuk dan
berkelakuan cacat moral lainnya), jadi dalam menjatuhkan putusan tersebut
Hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan, yaitu ada pertimbangan-pertimbangan
hukum kontemporer dan ada
juga pertimbangan berdasarkan ketentuan-ketentuan klasik (hukum yang tidak tertulis).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadlonah menurut bahasa adalah
Al-Janbu berarti erat atau dekat.
Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih
kecil dan belum dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala
yang dapat membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya
supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan
dihadapinya.
Seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah
kepada istri dan anak-anaknya, sedangkan dalam pemeliharaan anak yang setelah
bercerai antara suami dan istri, rupanya prioritas jatuh pada seorang ibu yang paling
berhak untuk mengasuhnya ketika si anak masih dibawah umur (belum mumayyis).
Selanjutnya tidak hanya ibu, ayah
juga dapat menjadi pihak yang mengasuh si anak, karena disebabkan oleh faktor
yang menggurkan kewajiban si istri.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, Pustaka
Setia, 2000),
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jus 8, (Bandung, Al-Ma’ruf,
1984),
H. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta, Pustaka Amini,
Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulussalam juz III
(Surabaya, Al-Ikhlas, 1955),
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta, Akademia Presindo, 2010),
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana,
2003),
Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fiqih Islam,
(Jogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002)
[1].
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2000),
h.224
[2].
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jus 8, (Bandung, Al-Ma’ruf, 1984), h.179
[3].
H. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta, Pustaka Amini, 2002),
h.321-322
[6].
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, Akademia Presindo,
2010), h. 138
[7]. Ibid, h. 151
[8] Ibid, h. 135
[9] Ibid, h. 151
[11]. Musthafa Kamal Pasha, Chalil,
Wahardjani, Fiqih Islam, (Jogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 304
[12].
Abdurahman, Op. Cit., h. 139