Hukum dan Penanggulangan
kejahatan cybercrime
I.
PENDAHULUAN
Era globalisasi ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi dan transportasi, membuat dunia
menjadi transparan seolah-olah menjadi sebuah kampung tanpa mengenal batas
Negara. Kondisi ini menciptakan struktur baru yaitu struktur global. Cyber
crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa
sekarang yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Kejahatan ini
merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak
negative sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini. Di era
globalisasi ini pula semua yang mendiami permukaan bumi dapat berhubungan satu
sama lain dalam suasana yang egaliter. Pola hubungan mereka amat ditentukan
oleh alat komunikasi dan sambungan internet.
Perkembangan teknologi khususnya dibidang telekomunikasi dan transportasi
dianggap sebagai lokomotif dan turut mempercepat proses globalisasi di pelbagai
aspek kehidupan. Setiap negara harus menghadapi kenyataan bahwa informasi dunia
saat ini dibangun berdasarkan suatu jaringan yang ditawarkan oleh kemajuan
bidang teknologi.
Sebagai media penyedia informasi internet juga merupakan sarana kegiatan
komunitas komersial terbesar dan terpesat pertumbuhannya.Berbagai kasus
pelanggaran hukum melalui media internet kini kerap terjadi di Indonesia,
kondisi Indonesia secara global dalam persoalan ciber crime sudah sangat
memprihatinkan[1]
Hal ini terjadi dikarnakan pesatnya teknologi dan media internet yang
merekonstruksi pola pikir orang kebanyakan, menyebabkan orientasi masyarakat
berubah ke arah hedonisme dan gengsi. Internet juga menawarkan akses yang
begitu luas, menembus batas hasrat duniawi, informasi, berinteraki, komunikasi,
perekonomian dan lain sebagainya. Kemudahan yang diberikan membuat banyak
masyarajat dari berbagai kalangan menjadi pecandu internet khususnya jejaring
sosial. Sehingga kini kita memiliki dua dunia: dunia maya dan nyata.[2]
II.
PEMBAHASAN
Difinisi Cyber Crime
Cybercrime adalah sebuah istilah yang digunakan secara luas
untuk menggambarkan tindakan kejahatan yang menggunakan media komputer ataupun
internet. Dan tindakan-tindakan kejahatan tersebut pada beberapa negara di
dunia dapat dikenai hukuman, sedangkan di negara-negara lainnya masih terjadi
perdebatan tentang bagaimana bentuk dan status hukumnya.[3]
Sedangkan menurut Kepolisian Inggris Tahir (2009) ”Cyber Crime adalah
segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau
kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi
digital”. Menurut Tavani (Fajri, 2008) definisi Cybercrime, yaitu
”kejahatan dimana tindakan kriminal hanya bisa dilakukan dengan menggunakan
teknologi cyber dan terjadi di dunia cyber”. Beberapa definisi
lain seperti yang terangkum dalam artikel Golose (2006) antara lain menurut The
U.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime
sebagai:"…any illegal act requiring knowledge of Computer
technology for its perpetration, investigation, or prosecution".
Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community
Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized
behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of
data". Andi Hamzah mengartikan Cybercrime sebagai kejahatan
di bidang komputer secara umum sebagai penggunaan komputer secara ilegal.[4]
Karakteristik Cybercrime
Cybercrime memiliki
karakter yang khas dibandingkan dengan kejahatan konvensional, yaitu antara
lain:
1)
Pembuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak
etis tersebut terjadi di ruang/ wilayah maya cyberspace, sehingga tidak dapat dipastikan yuridiksi hukum negara
mana yang berlaku terhadapnya.
2)
Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan
apapun yang bisa terhubung dengan internet.
3)
Pembuatan tersebut mengakibatkan kerugian material maupun
inmaterial (waktu, nilai, jasa uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan
informasi] yang cenderung lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional.
4)
Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet
beserta aplikasinya.
5)
Perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara
transnasional/melintasi batas negara.[5]
Bentuk Cybercrime
1. Unauthorized Access to
Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan
memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak
sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer
yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan
maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu,
ada juga yang melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba
keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi.
Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet/intranet.
Misalnya pada saat masalah Timor Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan di
tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh
hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus
masuk ke dalam database berisi data para pengguna jasa America Online (AOL),
sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidange-commerce, yang
memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs
Federal Bureau of Investigation (FBI) pun tidak luput dari serangan para hacker,
yang berakibat tidak berfungsinya situs ini dalam beberapa waktu lamanya.
2.
Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan
data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak
etis, dan dapat dianggap melanggar
hukum atau mengganggu ketertiban umum. Misalnya pemuatan suatu berita
bohong atau fitnah yang mendiskreditkanmartabat
atau harga diri pihak lain, halhal yang berhubungan dengan pornografi atau
pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda
untuk melawan pemerintahan yang sah, dan lain sebagainya.
3. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen
penting yang tersimpan sebagai scriptless
document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada
dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolaholah terjadi “salah
ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.
4. Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan
kegiatan mata-mata terhadap pihak lain,
dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak
sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen
ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem yang computerized.
5. Cyber Sabotage and
Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau
penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan
komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan
dengan menyusupkan suatu logic bomb,
virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer
atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana
mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam
beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut
menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau
sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut, tentunya dengan
bayaran tertentu. Kejahatan ini sering disebut sebagai cyber-terrorism.
6. Offense against
Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual yang
dimiliki
pihak lain di internet. Sebagai contoh
adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain
secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata
merupakan rahasia dagang orang lain.
7. Infringementsof Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal
yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap
keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi
yang
tersimpan secara computerized,
yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara
materiil maupun immateriil, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM,
informasi penyakit yang dirahasiakan dan sebagainya. Cybercrime memiliki
karakter yang khas dibandingkan kejahatan konvensional, antara lain:
a.
Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak
etis tersebut terjadi di ruang/wilayah maya (cyberspace), sehingga tidak
dapat dipastikan yurisdiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya
b.
Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan
apapun yang bisa terhubung dengan internet
c.
Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun immateriil
(waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi)
yang cenderung lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional
d.
Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet
beserta aplikasinya. Perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara
transnasional/melintasi batas negara[6]
Cyber Crime Dalam Hukum di Indonesia
Kejahatan cyber secara
hukum bukanlah kejahatan sederhana karena tidak menggunakan sarana
konvensional, tetapi menggunakan komputer dan internet. Sebuah data informal
mensinyalir bahwa Indonesia adalah negara “hacker” terbesar ketiga di
dunia. Sedangkan untuk Indonesia, kota “hacker” pertama diduduki oleh
kota Semarang, kemudian kota Yogyakarta.[7]
Kebijakan kriminalisasi
atau formulasi hukum pidana di Indonesia yang berkaitan dengan masalah cyber
crime, selama ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:7
1. Dalam KUHP
Perumusan tindak pidana di dalam KUHP kebanyakan masih
bersifat konvensional dan belum secara langsung dikaitkan dengan perkembangan cyber
crime, selain itu juga terdapat berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam
menghadapi perkembangan teknologi dan high tech crime yang sangat
bervariasi. Contoh dalam hal menghadapi masalah pemalsuan kartu kredit dan
transfer dana elektronik saja, KUHP mengalami kesulitan karena tidak adanya
aturan khusus mengenai hal tersebut. Ketentuan yang ada hanya mengenai: (a)
sumpah/keterangan palsu (Pasal 242); (b) pemaluan mata uang dan uang kertas
(Pasal 244-252); (c) pemalsuan materai dan merk (Pasal 253-262); dan (d)
pemalsuan surat (Pasal 263-276).
2. Undang-undang di luar KUHP
a.
UU No.36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi, mengancam pidana terhadap perbuatan: (1) memanipulasi
akses ke jaringan telekomunikasi (Pasal 50 jo.22); (2) menimbulkan gangguan
fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi (Pasal 55
jo.38); (3) menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi (Pasal 56
jo.40).
b.
Pasal 26A UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; Pasal 38 UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang; dan pasal 44 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; mengakui electronic record sebagai
alat bukti yang sah.
c.
UU No.32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, antara lain mengatur tindak pidana:
1) Pasal 57 jo. 36 ayat (5) mengancam pidana terhadap siaran
yang : a) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkandan/atau bohong; b)
menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan
obat terlarang; atau c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.
2) Pasal 57 jo. 36 ayat (6) mengancam pidana terhadap siaran
yng memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan/atau mengabaikan nilai-nilai
agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
3) Pasal 58 jo. 46 ayat (3) mengancam pidana terhadap siaran
iklan niaga yang didalamnya memuat: a) promosi yang dihubungkan dengan ajaran
suatu agama; ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan
dan/atau merendahkan martabat orang lain, ideologi lain, pribadi lain, atau
kelompok lain; b) promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat
adiktif; c) promosi rokok yang memperagakan wujud rokok; d) hal-hal yang
bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau e)
eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun.
d. UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU-ITE), Bab VII Perbuatan yang dilarang, memuat ketentuan pidana
bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan:
1) Melanggar kesusilaan; memiliki muatan perjudian; memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman (Pasal 27).
2) Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik; menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA) (Pasal 28)
3) Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29).
4) Mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang
lain; mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan tujuan memperoleh
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik; mengakses komputer dan/atau
sistem elektronik dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan (Pasal 30).
5) Melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik; melakukan intersepsi elektronik atas
transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat
publik (Pasal 31)
6) Mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, suatu informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik; memindahkan atau
mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem
elektronik orang lain yang tidak berhak; mengakibatkan terbukanya suatu
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi
dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya
(Pasal 32).
7) Terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem
elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya (Pasal 33).
8) Memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki (a) perangkat keras atau perangkat
lunak yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi
perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 27-33; (b) sandi lewat komputer, kode
akses, atau hal lain yang sejenis dengan itu yang ditujukan agas sistem
elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan dalam
Pasal 27-33 (Pasal 34).
9) Melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan,
pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olahdata
yang otentik (Pasal 35).
10) Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27-34
yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain (Pasal 36).
11) Melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27-36 diluar wilayah Indonesia terhadap sistem elektronik yang berada di
wilayah Yurisdiksi Indonesia (Pasal 37).
Kriminalisasi cyber
crime di Indonesia khususnya dalam UU-ITE dapat dibagi dalam dua kategori,
yaitu perbuatan yang menggunakan komputer sebagai sarana kejahatan, dan
perbuatan-perbuatan yang menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan.
Kejahatan yang menggunakan.
komputer sebagai sarana adalah setiap tindakan yang mendayagunakan data
komputer, sistem komputer, dan jaringan komputer sebagai alat untuk melakukan
kejahatan di ruang maya bukan ruang nyata. Kejahatan yang menjadikan komputer
sebagai sasaran adalah setiap perbuatan dengan menggunakan komputer yang
diarahkan pada data komputer, sistem komputer, atau jaringan komputer, atau
ketiganya secara bersama-sama. Perbuatan tersebut dilakukan di ruang maya bukan
ruang nyata, sehingga seluruh aktivitas yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan terjadi di ruang maya.[8]
Cyber Crime Ditinajau
dari Hukum Islam
Dipahami dari pengertian dan jenis–jenis cyber crime tersebut di atas, cybercrime
merupakan bentuk kejahatan yang muncul di era modern sekarang ini. Dengan
demikian, perbuatan kejahatan cyber crime menurut analisa hukum
Islam (jinayat) dapat dihukum dengan ta’zir. Ta’zîr menurut pengertian
bahasa berarti pencegahan (al-man’u). adapun menurut istilah
ta’zîr merupakan hukuman edukatif (ta’dîb) dalam arti
mengantisipasi dengan cara menakut-nakuti (tankîf). Adapun secara
syar’î, ta’zîr
dimaksudkan sebagai sanksi yang dijatuhkan atas dasar kemaksiatan, karena
secara tegas tidak termasuk kejahatan yang termaktub dalam Al Quran da Hadis,
sebagaimana had, Qisas, atau kafârat. Hukuman Ta’zîrmacamnya dapat
berupa sangsi dalam bentuk:
(1) hukuman mati;
(2) jilid atau cambuk
tidak melebihi 10 kali;
(3) pengasingan,
pemboikotan,atau penjara;
(4) salib;
(5) ganti rugi (ghuramah)
atau dengan cara penyitaan;
(6) peringatan atau
nasihat
(7) pencabutan sebagian
hak kekayaan (hurmân);
(8) pencelaan (taubîkh);
(9) pewartaan (tasyhîr).
Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau
yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk
memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia
tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu. Kasus ta‘zîr secara umum terbagi
menjadi:
(1) pelanggaran terhadap
kehormatan;
(2) pelanggaran terhadap
kemuliaan;
(3) perbuatan yang
merusak akal;
(4) pelanggaran terhadap
harta
(5) gangguan keamanan;
(6) subversi;
(7) pelanggaran yang
berhubungan dengan agama.[9]
Penanggulangan Cybercrime Dan
Kendala Yang Dihadapi
Dalam rangka menanggulangi Cybercrime, Resolusi Kongres PBB
VIII/1990 mengenai Computer Related Crimes mengajukan beberapa kebijakan
antara lain sebagai berikut:
a.
Menghimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya
penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan
mempertimbangkan
b.
Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan
internasional dalam upaya penanggulangan Cybercrime.
c.
Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan
Kejahatan (Committee on Crime Prevention and Control) PBB.
Walaupun Resolusi Kongres
PBB VIII/1990 telah menghimbau negara anggota untuk menanggulangi Cybercrime
dengan sarana penal, namun kenyataannya tidaklah mudah. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu:
a.
Perbuatan jahat yang dilakukan berada dilingkungan
elektronik. Oleh karena itu penanggulangan Cybercrime memerlukan
keahlian khusus, prosedur investigasi dan kekuatan/dasar hukum yang mungkin
tidak tersedia pada aparat penegak hukum di negara yang bersangkutan.
b.
Cybercrime melampaui batas-batas negara, sedangkan
upaya penyidikan dan penegakan hukum selama ini dibatasi dalam wilayah
territorial negaranya sendiri.
c.
Struktur terbuka dari jaringan komputer internasional
memberi peluang kepada pengguna untuk memilih lingkungan hukum (negara) yang
belum mengkriminalisasikan cybercrime5. Terjadinya data havens (negara
tempat berlindung/singgahnya data, yaitu negara yang tidak memprioritaskan
pencegahan penyalahgunaan jaringan komputer) dapat menghalangi usaha negara
lain untuk memberantas kejahatan itu.[10]
III. KESIMPULAN
Mengenai upaya penanggulangan Cybercrime memerlukan suatu perhatian
dan keahlian khusus dalam bidang teknologi, karena kejahatan ini mempergunakan
sistem jaringan komputer yang dapat digunakan oleh siapapun juga tanpa mengenal
batas teritorial dan waktu. Terkait dengan hal tersebut di Indonesia telah
memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dalam menindak kejahatan Cybercrime. Namun dalam pembuktian
mengenai cybercrime Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana belum
mengatur mengenai informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti. Sehingga
diharapkan ketentuan mengenai informasi elektronik diatur secara tegas sehingga
terdapat suatu kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Eka Dian, September,
2009, ”Cybercrime di Indonesia”, Vol. 6, No. 3, http://id.portalgaruda.org/?ref=search&mod=document&select=title&q=cybercrime&button=Search+Document, 27 Desember 2016.
Ali Rifan, Naufil
Istikharani Kr, Khalili dkk. Indonesia Hari Esok, Purwokerto: Obsesi
Pers, 2012
http://en.wikipedia.org/wiki/Cybercrime, (27 Desember 2016)
Dista Amalia Arifah, September, 2011, ”Kasus Cybercrime di
Indonesia”, Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Vol.
18, No. 2, http://id.portalgaruda.org/?ref=search&mod=document&select=title&q=cybercrime&button=Search+Document
Fuady, Desember 2005, “Cybercrime: Fenomena Kejahatan melalui
Internet di Indonesia”, jurnal Cybercrime.
Vol. 6, No. 2 http://id.portalgaruda.org/?ref=search&mod=document&select=title&q=cybercrime&button=Search+Document
Sofyan Jannah, Naufal, Februari-Agustus 2012, “Penegakan Hukum Cyber Crime Ditinjau dari
Hukum Positif dan Hukum Islam”, Al-Mawarid,
Vol. XII, No. 1, http://id.portalgaruda.org/?ref=search&mod=document&select=title&q=cybercrime&button=Search+Document
Marwin, ”Penanggulangan Cyber Crime melalui Penal
Policy”, Penulis adalah Dosen Tetap pada
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
Made Agus Windara, Ketut Sukranatha, “Kendala dalam
Penanggulangan Cybercrime sebagai suatu Tindakan Pidana khusus”, Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.
[1] Dian Eka Ismail,”Cybercrime di
Indonesia”,Jurnal Cybercrime, Vol. 6,
No. 3 (September, 2009), 242-247.
[2] Ali Rifan, Naufil Istikharani
Kr, Khalili dkk, Indonesia Hari Esok (Purwokerto:
Obsesi Pers, 20112), 4-5.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Cybercrime, (27
Des 2016)
[4] Dista Amalia Arifah, ”Kasus
Cybercrime di Indonesia”, Jurnal Bisnis
dan Ekonomi, Vol. 18, No. 2 (September, 2011), 185-195.
[5] Fuady, “Cybercrime: Fenomena
Kejahatan melalui Internet di Indonesia”, jurnal
Cybercrime, Vol. 6, No. 2 (Desember 2005), 255-263.
[6] Sofyan Jannah, Naufal,
“Penegakan Hukum Cyber Crime Ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum Islam”, Al-Mawarid, Vol. XII, No. 1
(Februari-Agustus 2012), 70-84.
[7] Dian Eka Ismail,”Cybercrime di
Indonesia”,Jurnal Cybercrime, Vol. 6,
No. 3 (September, 2009), 242-247.
[8] Marwin, ”Penanggulangan Cyber Crime melalui Penal
Policy”, Penulis adalah Dosen Tetap pada
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
[9] Sofyan Jannah, Naufal,
“Penegakan Hukum Cyber Crime Ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum Islam”, Al-Mawarid, Vol. XII, No. 1
(Februari-Agustus 2012), 70-84.
[10] Made Agus Windara, Ketut
Sukranatha, “Kendala dalam Penanggulangan Cybercrime sebagai suatu Tindakan
Pidana khusus”, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1-5.
komentar anda sangat berguna bagi perkembangan blog kami EmoticonEmoticon